REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria menilai praktik politik dinasti dapat mengurangi proses demokrasi yang ditegakkan di Indonesia.
"Penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, sasarannya untuk mensejahterakan masyarakat daerah, tapi realitanya banyak daerah otonom yang rakyatnya tidak sejahtera, tapi kepala daerah dan keluarganya yang sejahtera," tegasnya, Kamis (9/7).
Menurutnya, adanya praktik politik dinasti dapat menyimpang dari sasaran otonomi daerah yakni mensejahterakan masyarakat, sehingga mengurangi proses demokrasi.
Untuk mencegah hal itu lah, dibuat pasal yang mengatur pembahasan praktik politik dinasti dalam Undang-undang No 8 tahun 2015 tentang Pilkada.
"Pasal 7 huruf r dalam UU Pilkada, tidak membolehkan kepala daerah mengusung calon kepala daerah dari anggota keluarganya, tapi harus ada jeda satu periode atau lima tahun berikutnya," katanya.
Politisi Partai Gerindra ini menjelaskan, kepala daerah selama memimpin dapat menggunakan ABPD yang besarnya ratusan miliar rupiah atau bahkan menembus angka triliun rupiah.
Selama lima tahun memimpin, kata dia, kepala daerah dapat mengelola anggaran untuk melakukan pencitraan dan kemudian mengusung anggota keluarganya pada pilkada berikutnya.
"Kondisi ini tentunya tidak fair, karena tidak seimbang dengan calon kepala daerah lainnya jika harus berkompetisi dengan calon kepala daerah incumbent yang sudah melakukan pencitraan selama lima tahun," ujarnya.
Menurutnya adanya pembatasan mengusung calon kepala daerah dari anggota keluarga incumbent agar pemilihan kepala daerah berjalan lebih fair.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 7 huruf r dalam UU Pilkada perihal calon kepala daerah dari keluarga incumbent, dinilai Riza, adalah keputusan yang tidak bijak.
"Keputusan itu, mengabaikan keberpihakan kepada masyarakat yang tetap tidak sejahtera," katanya.
Pada kesempatan tersebut, Riza meminta kepada partai politik untuk tidak merekomendasikan keluarga incumbent sebagai calon kepala daerah.