Rabu 08 Jul 2015 12:00 WIB

Menggugat Kedaulatan Udara NKRI (2-Habis)

Red: M Akbar
Peta Indonesia
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Peta Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Marsekal Pur.Juwono Kolbuoen (Wakil Presiden Indonesia Aviation and Aerospace Watch/IAAW)

Setelah kebijakan FIR Singapura yang sungguh mengganggu kedaulatan udara NKRI, berikutnya berkaitan dengan ASEAN Open Sky Policy. Kebijakan ini sungguh merunyamkan. Sehubungan dengan diberlakukannya kebijaksanaan regional di NKRI yang dikenal dengan ASEAN Open Sky Policy, ada dua hal besar yang sungguh menggaggu. 

Pertama, dengan diberlakukannya ASEAN Open Sky Policy sejak tanggal 1 Januari 2015, seharusnya jauh-jauh hari negeri ini sudah melakukan pembenahan. Terutama melakukan peningkatan daya saing pada maskapai penerbangan nasional yang didukung pemerintah dengan strategi yang tepat. 

Namun yang terjadi, semuanya seperti bertentangan dengan upaya maskapai-maskapai penerbangan nasional untuk meningkatkan daya saing. Sebagai dampak lanjutannya, sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi dan sebagian akibat kebijaksanaan pemerintah, beberapa maskapai penerbangan nasional justru harus “gulung tikar”.

Kedua, Open Sky itu sebenarnya tidak ada. Menurut saya, yang ada itu harusnya Indonesia Open Sky. Dengan demikian kebijakan ASEAN Open Sky Policy itu dapat diartikan “meng-Open Sky Indonesia”. Kebijakan ini tentunya akan berdampak buruk terhadap keamanan dan kedaulatan ruang udara negeri ini.  

Perlu dipahami, Indonesia memiliki 17.504 pulau dengan luas wilayah yang membentang sepanjang khatulistiwa dari 95 bujur timur sampai dengan 141 bujur timur, dan dari 6 lintang utara sampai dengan 11 lintangselatan.

Di atasnya memiliki wilayah kedaulatan udara yang sangat luas, yakni 5.193.252 km2 dan membentang sepanjang 5.110 km di khatulistiwa. Untuk itu dirgantara adalah bagian penting dalam kehidupan nasional karena dirgantara adalah payung dari seluruh aktivitas bangsa. Sungguh disayangkan, semua potensi yang kita miliki itu seakan terabaikan atau memang sengaja diabaikan.

Kebijakan lain yang sungguh mengganggu kedaulatan udara Indonesia berkaitan dengan Air Traffic Flow Management (ATFM) Center. Dalam perkembangan berikutnya di dunia Internasional muncul ide Air Traffic Flow Management (ATFM) Center, yaitu pengontrolan ruang udara terpadu yang telah berlaku di Eropa dan Amerika. 

Ide ATFM ini juga akan diberlakukan di kawasan South East Asia termasuk sebagian Pacific. Dalam hal ini yang telah mengajukan untuk menjadi AFTM Center adalah Australia, Singapura dan Thailand. Apabila salah satu dari ketiga calon tersebut ditetapkan oleh ICAO menjadi Pusat ATFM regional ASEAN maka seluruh wilayah udara Indonesia akan di kontrol oleh mereka.  

Seharusnya, sebagai negara terbesar di ASEAN, kontrol wilayah udara regional harus dipegang oleh Indonesia. Untuk itu saya tegaskan, sudah sepantasnya pusat ATFM berada di tangan Indonesia, bukan di Singapura ataupun Thailand yang secara teritorial lebih kecil dari negeri ini.

Lantas muncul pertanyaan,''Mengapa tidak ada upaya yang serius dalam menegakkan kedaulatan dan martabat bangsa? Apakah Indonesia sudah tidak peduli dengan dignity? Ataukah hal ini memang merupakan kebodohan yang sudah keterlaluan?

Inilah sebuah keprihatinan yang harusnya dipikirkan secara bersama-sama oleh bangsa ini. Sayangnya, belakangan ini kerap muncul beberapa pendapat yang seakan-akan masalah kedaulatan di ruang udara itu dapat dikesampingkan karena adanya tujuan-tujuan tertentu “yang lebih penting”. 

Keyakinan saya, semoga pendapat tersebut muncul dari ketidakmengertian tentang pentingnya kedaulatan ruang udara bagi Indonesia. Ataukah memang hal itu terjadi dengan kian tergerusnya semangat nasionalisme? Rasanya sudah saatnya kita untuk menggugat ulang kedaulatan udara negeri ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement