Rabu 08 Jul 2015 06:09 WIB

Menggugat Kedaulatan Udara NKRI (1)

Red: M Akbar
Peta Indonesia
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Peta Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Marsekal Pur.Juwono Kolbuoen (Wakil Presiden Indonesia Aviation and Aerospace Watch/IAAW)

Indonesia adalah negara besar. Diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan, tentu perlu adanya jaminan terintegrasi wilayah udara nasional. Ini sesuai dengan Konvensi Chicago 1944. Di dalamnya tersurat kedaulatan ruang udara suatu negara itu berada di atas wilayah daratan dan perairannya.  

Dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tertulis,''The contracting states recognize that every states has complete and exclusive sovereignty over the air space above its territory” (setiap negara memiliki kedaulatan wilayah yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya).

Pada pasal berikutnya, yang di maksud dengan wilayah udara adalah ruang udara di atas bagian daratan dan perairan teritorial yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan, perlindungan atau mandat dari negara. Dari dua pasal tersebut sudah jelas, ruang udara di atas wilayah NKRI adalah ruang udara penuh dan utuh yang dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan pemiliknya. Inilah yang wajib dipahami oleh setiap rakyat Indonesia.

Sayangnya, posisi Indonesia yang menguntungkan tersebut justru menimbulkan kerawanan bagi negeri ini. Hal ini terjadi ketika negara-negara lain mengambil celah dari keberadaan Indonesia yang strategis. Mereka, para negara tetangga itu, begitu pongahnya melakukan hak lintas, baik melalui laut maupun udara tanpa seiizin dari negara Indonesia.  

Sesungguhnya hal tersebut sudah jelas sebagai bentuk pelanggaran kedaulatan. Tapi apa lacur, justru banyak pihak, termasuk beberapa “orang Indonesia” sendiri yang menyatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak berkaitan dengan masalah kedaulatan.  

Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga kebijaksanaan regional yang telah secara serius mengancam kedaulatan ruang udara Indonesia. Pertama, berkaitan masalah Flight Information Region (FIR) Singapura. Kedua, ASEAN Open Sky Policy. Lalu yang ketiga, Air Traffic Flow Management (ATFM) Center.

Dari ketiga hal tersebut, mari kita uraikan mengapa menjadi ancaman serius bagi kedaulatan bangsa ini. Mengapa FIR Singapura menjadi ancaman serius bagi kedaulatan udara negeri ini? Menurut saya, salah satu bentuk pelanggaran kedaulatan di wilayah NKRI adalah adanya negara tetangga yang mengontrol sebagian wilayah udara kedaulatan Indonesia.

Inilah yang terjadi pada kebijakan FIR Singapura. Pelanggaran yang dimaksud adalah dilakukan dalam bentuk pelayanan navigasi penerbangan, di atas kepulauan Riau dan Natuna yang dikenal dengan istilah FIR Singapura.  

Lebih memprihatinkan adalah pengontrolan ruang udara kedaulatan Indonesia tersebut “didukung” oleh Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang ratifikasi perjanjian FIR dengan Singapura. Di dalamnya dinyatakan sistem navigasi di kawasan tersebut dikuasai oleh Singapura.

Kebijakan ini sungguh mengganggu dignity atau martabat bangsa ini. Mengapa? Melalui kebijakan ini, kewenangan yang dimiliki Singapura dapat mengatur seluruh pesawat terbang, termasuk pesawat militer Indonesia yang ingin mendarat, lepas landas, atau sekadar melintas di atas Batam, Tanjungpinang, dan Natuna.

Semuanya wajib diinformasikan kepada Singapura dan harus mendapat izin Singapura. Kalau saja ada yang nekat, Singapura memiliki kewenangan untuk menembak. Padahal secara de facto, kewenangan yang dimiliki Singapura itu di atas wilayah udara Indonesia.  

Mandat International Civil Aviation Organisation (ICAO) itu tak hanya memberi Singapura kewenangan mengatur lalu lintas udara di dalam area FIR. Lebih dari itu, negeri jiran tersebut juga memiliki hak memungut fee atau bayaran dari seluruh maskapai yang melintasi FIR. Termasuk juga fee dari maskapai Malaysia yang melintas dari kota-kota Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur di Kalimantan dan sebaliknya.   

Anehnya, kebijakan tersebut sudah berjalan selama hampir 70 tahun. Menurut saya, ini menjadi salah satu contoh “kebodohan” yang tidak seharusnya terjadi. Apalagi ketika mempertanyakannya dalam konsep kedaulatan NKRI? Masih pantaskan 'kebodohan' itu terus terjadi?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement