REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengimbau pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) gencar memanfaatkan media sosial menjelang diterapkannya masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).
"Menghadapi MEA, pelaku usaha mikro dan kecil ini, perlu dikenalkan dengan media-media yang baru untuk menyosialisasikan kemudian menjual produk, tidak hanya dengan media 'mainstream' saja," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Suprawoto di Jakarta, Selasa (7/7).
Ia mengatakan sejumlah UMK, hingga kini masih menilai hanya sarana informasi mainstream, yakni media televisi, radio, dan media elektronik, yang dapat mempromosikan jualan mereka.
Menurut dia, kehadiran wadah baru berupa media sosial belum sepenuhnya diberdayakan para pengusaha kecil dan menengah untuk mendukung penjualan barang dagangannya.
Padahal, layanan media sosial berpeluang besar menciptakan bisnis "Electronic Commerce" (E-Commerce) yaitu proses pembelian dan penjualan produk, jasa dan informasi yang dilakukan dengan memanfaatkan jaringan internet, yang mempermudah proses jual-beli saat MEA berlangsung, tambahnya.
"Bisnis lewat e-commerce saat ini luar biasa besar, terbukti keuntungannya semakin lama semakin tinggi," tukasnya.
Terkait dengan infrastruktur dan jaringan yang masih kerap menjadi masalah, Suprawoto mengklaim instansinya tengah menggencarkan pemerataan teknologi dan pembangunan fisik di seluruh kawasan Indonesia.
Menurut dia, saat ini Kominfo sedang membuat 50 kabupaten agar terjamah jaringan serat optik melalui dana "universal service obligation" (USO).
"Kominfo sedang berusaha memeratakan akses informasi di seluruh kawasan, apalagi nanti 2016 sudah 'broadband' di seluruh Indonesia," ujarnya.
Namun, ia mengatakan membangun fisik lebih mudah dibanding menyiapkan konten, dimana kondisi ini diartikan pengenalan akses teknologi yang telah banyak dilakukan tidak sebanding dengan nilai tambah yang didapatkan.
"Berdasarkan catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) penetrasi dari akses informasi ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan sumber daya manusia, jadi edukasi kita ini luar biasa, tapi added value (nilai tambah) tidak sebanding," tuturnya.
Catatan tersebut disayangkan Suprawoto, apalagi biaya pengadaan "Information and Communications Technology" (ICT) merupakan penggerus devisa nomor dua setelah minyak.
"Oleh sebab itu, harapan dari Kominfo, jangan sampai teknologi ini hanya dinikmati sekadar untuk memudahkan hidup, tapi kemudian harus dirasakan nilai tambahnya bagi kualitas SDM Indonesia, sehingga apa yang kita bangun dan upayakan itu betul-betul memberikan kesejahteraan kepada masyarakat," tambahnya.