REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku tak siap menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Wakil Ketua MK, Anwar Usman meminta DPR merevisi sejumlah undang-undang yang melibatkan mahkamah dalam tahapan pilkada.
"Kami meminta agar ini direvisi, dengan kembali memasukkan kewenangan atas kewajiban MK dalam undang-undang," kata Anwar saat rapat gabungan antara pemerintah dan penegak hukum dengan Komisi I dan II DPR, di komplek Parlemen, Senin (6/7).
Dikatakan Anwar, MK, menurut UUD 1945 dan UU MK nomor 24/2004 tak punya kewenangan mengadili perselisihan hasil pilkada. Dalam putusan MK pada 2014, juga dikatakan Anwar, MK menguatkan aturan tersebut dengan memutuskan tak lagi berwenang mengadili perkara hasil sengketa pilkada.
Namun UU Pilkada nomor 8/2015 menghendaki agar selama belum ada lembaga peradilan khusus pilkada, sengketa perolehan suara dalam pilkada harus diselesaikan lewat MK.
Persolannya, diterangkan Anwar, UU Pilkada tersebut juga membebani MK dengan memerintahkan untuk menyelesaikan sengketa hasil suara pilkada selambatnya 45 hari menurut kalender.
Agar diketahui, kata dia, di MK hanya ada sembilan hakim. Sementara gelombang awal pilkada serentak tahun ini tercatat ada 269 wilayah. Jika sejumlah terlaksana pilkada itu mengajukan sengketa, Hakim MK akan sulit memberikan keadilan dalam putusannya.
"Itu artinya, setiap kasus MK hanya disediakan waktu 30 menit untuk memutuskan sengketa," kata dia.
Anwar menyampaikan kepada DPR agar lembaga legislasi itu memberikan legalitas terang soal kewajiban MK dalam Pilkada 2015. Selanjutnya, kata dia, jika pun MK tetap diminta untuk menjadi pengadil sementara sengketa pilkada, DPR diminta merevisi jumlah 45 hari penyelesaian sengketa menjadi sekitar 60 hari.
"Jumlah 60 hari itu pun, kalau bisa, hari kerja. Bukan hari kalender," tegasnya.