REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gabungan serikat buruh menolak adanya penetapan manfaat pensiun dari iuran Jaminan Hari Tua (JHT) yang sudah ditetapkan pemerintah sebesar 15-40 persen. Ketua Presidium Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menilai nilai tersebut tidak layak.
"Sangat tidak layak," tegas Said Iqbal di Gedung Joang, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (2/7).
Gerakan Buruh Indonesia (GBI) menilai peraturan tersebut bukti pemerintah setengah hati menjalankan program pensiun karena tak serta merta membuat buruh bernafas lega. Said mengatakan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak sebagai pengganti hilangnya penghasilannya, besaran manfaat jaminan pensiun bulanan minimal adalah 60 persen dari upah terakhir.
Menurut Said, bila manfaat uang didapat hanya 40 persen dari upah rata-rata, sedangkan besaran iuran yang ditetapkan hanya 3 persen dinilai sangat tidak layak saat buruh telah memasuki usia pensiun.
"Hanya Rp 300 ribu uang yang akan diterima oleh para buruh per bulannya saat pensiun nanti. Jangan menjebak buruh menjadi masyarakat miskin," ujar Said.
Said menjelaskan pada prinsipnya manfaat antara buruh dan PNS, TNI, maupun Polri tidak bisa ada diskriminasi. "PNS, TNI, dan Polri pun mendapatkan manfaat bulanan 75 persen. Tidak boleh ada diskriminasi," kata Said.
Sependapat dengan Said, Ketua Presidium KSPSI Andi Gani juga mengatakan angka rumusan dari pemerintah itu masih jauh dari angka layak. Selain itu, menurut Andi ketetapan itu telah melanggar prinsip dasar jaminan pensiun. Pasalnya, jaminan pensiun dilaksanakan untuk mempertahankan derajat hidup layak.
"Ini bukti pemerintah tidak serius dan setengah hati menjalankan program jaminan pensiun," ujar Andi.
Sebelumnya, Pemerintah telah mengesahkan peraturan total manfaat pensiun sebesar 40 persen dan pembatasan dana Jaminan Hari Tua (JHT) 10 persen. Namun, serikat buruh menilai JHT tersebut masih jauh dari kata layak.