Kamis 02 Jul 2015 22:46 WIB

Ini Dua Hal yang Dibutuhkan untuk Bangun Profesionalisme di BIN

Rep: Issha Harruma/ Red: Bayu Hermawan
Badan Intelijen Negara
Foto: Bin.go.id
Badan Intelijen Negara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat intelijen dari Imparsial Al Araf mengatakan, membangun profesionalisme intelijen yang menjadi visi calon Kepala BIN Letjen (Purn) Sutiyoso merupakan pekerjaan rumah yang berat. Menurutnya ada dua kapasitas yang dibutuhkan dan penting untuk membangun profesionalisme di tubuh BIN.

"Pertama, membangun human intelligence dalam arti SDM intelijennya. Kedua, membangun teknologi intelijen karena di era sekarang teknologi jadi sangat penting," katanya kepada Republika, Kamis (2/7).

Araf mengatakan, hal pertama yang perlu dilakukan oleh Sutiyoso adalah membangun konsolidasi internal BIN lebih baik. Penguatan internal dengan konsolidasi, lanjutnya, merupakan tantangan pertama mantan Gubernur DKI Jakarta itu karena ia bukan agen BIN sebelumnya.

Untuk membantu Sutiyoso mengatasi hal tersebut, Araf mengatakan langkah yang harus dilakukan Sutiyoso, yakni memiliki wakil KaBIN yang energik. "Ini tantangan presiden dan Sutiyoso memilih Wakil KaBIN yang bisa mengimbangi kelemahan dan kekurangan Sutiyoso yang sudah berumur," ujarnya.

Selain konsolidasi, Araf mengatakan, Sutiyoso juga perlu memperhatikan pembangunan sumber daya manusia (SDM) BIN. Pembangunan SDM, lanjutnya, perlu diperhatikan dan diperbaiki, mulai dari perekrutan, pendidikan, hingga pelatihan intelijen.

Menurut Araf, ada kompleksitas ancaman yang harus diantisipasi oleh BIN dan menjadi tugas berat Sutiyoso. Pertama, yakni perang asimetris yang berbentuk terorisme. Ini menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi Sutiyoso untuk melakukan deteksi dini.

Ancaman kedua, lanjutnya, yakni seperti yang dijabarkan Sutiyoso dalam pemaparannya di depan Komisi I, kejahatan dunia maya atau cyber war. Sebagai dinamika baru, Araf mengatakan, cyber war menjadi persoalan tersendiri dan menuntut BIN untuk memiliki perlengkapan yang canggih untuk mendeteksi.

"Ketiga, isu perbatasan. Itu jadi PR yang harus dipikirkan tapi itu bisa dilakukan dengan membangun suatu intelijen yang lebih profesional," jelasnya.

Araf mengatakan, banyak peralatan teknologi yang jauh lebih baru dan canggih di era saat ini. Untuk membangun teknologi intelijen, diperlukan pembaruan teknologi yang membutuhkan anggaran tidak kecil. Untuk itulah, lanjutnya, BIN perlu membangun komunikasi dan koordinasi eksternal dengan pemerintah dan DPR.

"DPR dan pemerintah yang menyiapkan anggaran," ucapnya.

Di sisi lain, Direktur Imparsial itu menambahkan, profesionalisme intelijen juga perlu dibarengi upaya membangun akuntabilitas intelijen secara lebih baik.

"Dalam artian, dalam kehidupan demokrasi, lembaga intelijen perlu akuntabilitas yang terukur dan menghormati prinsip demokrasi dan HAM dalam operasional, dalam menjalankan tugas dan fungsinya," jelasnya.

Menurut Araf, komitmen dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu tantangan terberat Sutiyoso. Keraguan publik karena keterlibatan Sutiyoso dalam kasus kerusuhan 27 Juli atau Kudatuli, lanjutnya, perlu dibuktikan dengan komitmen Sutiyoso untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM, salah satunya kasus Munir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement