Rabu 01 Jul 2015 20:05 WIB

Buah-buahan dan Gula Picu Inflasi Jatim

Rep: Andi Nurroni/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pedagang saat menimbang gula pasir di Pasar palmerah, Jakarta, Kamis (12/6).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pedagang saat menimbang gula pasir di Pasar palmerah, Jakarta, Kamis (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tingkat inflasi Jawa Timur bulan Juni 2015 mengalami kenaikan 0,45 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Dilaporan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, Rabu (1/7), kelompok pengeluaran yang menjadi penyumbang terbesar inflasi adalah bahan makanan dan makanan jadi, termasuk di dalamnya buah-buahan dan gula pasir.

Harga buah-buahan mengalami lonjakan karena meningkatnya permintaan buah-buahan untuk dikonsumsi sepanjang bulan puasa. Sebagai gambaran, harga apel mengalami kenaikan 11,24 persen, melon sebesar 11,17 persen dan pir sebesar 8,24 persen. Gula pasir yang juga banyak dibutuhkan masyarakat selama bulan puasa ikut mengalami kenaikan harga sebesar 4,84 persen.

Kepala BPS Jawa Timur Sairi Hasbullah menyampaikan, sejak awal bulan puasa, permintaan buah-buahan dan gula mengalami peningkatan. “Meskipun harga tinggi, tetap saaja masyarakat membelinya untuk konsumsi bulan puasa. Saat puasa, biasanya banyak bermunculan pedagang es buah dadakan,” ujar Sairi.

Selain buah-buahan dan gula, Sairi menyampaikan, komoditas lain yang memberikan andil besar terhadap inflasi adalah daging ayam ras, telur ayam ras, bensin, tarif listrik, beras, mie dan es. Disampaikan Sairi, kenaikan inflasi terjadi di delapan kota yang menjadi patokan indeks harga konsumen (IHK) di Jawa Timur.

Kenaikan inflasi 0,45 persen di Jawa Timur, menurut Sairi, relatif lebih baik, karena sejumlah komoditas penting lainnya mengalami penurunan harga dan menguatkan angka deflasi. Komoditas yang berkontribusi terhadap deflasi, di antaranya adalah tomat saayur (-15,59 persen), bawang merah (-7,25 persen) dan cabai rawit (8,52 persen).

Di antara delapan kota tersebut, Kota Surabaya mengalami inflasi paling tinggi, yakni sebesar 0,54 persen. Selanjutnya, kenaikan terbesar terjadi secara berturut-turut oleh Kota Probolinggo (0,44 persen), Kabupaten Sumenep (0,38 persen), Kota Malang (0,38 persen), Kota Madiun (0,32 persen),dan yang terendah adalah Kota Kediri (0,26 persen).

Sairi menambahkan, enam ibukota provinsi di Pulau Jawa, seluruhnya mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat (0,72 persen), Kota Serang, Banten (0,71 persen), Kota Semarang, Jawa Tengah (0,64 persen) dan Kota Surabaya, Jawa Timur (0,54 persen). Sementara kenaikan terendah terjadi di DKI Jakarta dan Kota Yogyakarta, yang masing-masing sebesar 0,35 persen.

Menurut Sairi, di Jawa Timur, intervensi pemerintah melalui operasi pasar terbilang berhasil. Hal tersebut, menurut Sairi, dibuktikan dengan adanya penurunan harga sejumlah komoditas penting, meskipun bulan puasa dan menjelang lebaran. Lebih penting untuk dicatat, menurut dia, tingkat inflasi Jawa Timur masih lebih rendah dibandingkan inflasi nasional, sebesar 0,54 persen.

Dihubungi terisah, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya Widodo Suryantoro menyampaikan, selama bulan puasa hingga lebaran, Pemkot Surabaya melakukan opersi pasar untuk mengendalikan harga.

Operasi stabilisasi harga, menurut dia, tidak dilakukan di pasar, melainkan di tingkat RW. Pemkot Surabaya sendiri, menurut dia, tetap tidak akan membentuk tim pengendali inflasi daerah (TPID), seperti kota/kabupeten lain.“TPID hanya tim yang menyerap anggaran, kami lebih efektif kalau dinas berfungsi dengan baik,” ujar Widodo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement