REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Presiden RI Lenis Kogoya menyatakan bahwa upaya pembebasan lima orang tahanan politik (tapol) Papua yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada 9 Mei lalu merupakan langkah strategis sebagai awal pembangunan di Papua dan Papua Barat.
"Agar mereka (para tahanan) bebas membangun Indonesia bersama-sama karena mereka juga bagian dari anak bangsa," tuturnya dalam seminar nasional berjudul 'Pembebasan Tapol-Napol, Resolusi Penyelesaian Masalah Papua' di Jakarta, Selasa (30/6).
Menurut Lenis, upaya Presiden membebaskan tapol adalah upaya saling memahami apa yang diinginkan masyarakat tanah Papua mengingat Papua merupakan bagian utuh dari NKRI. "Bangsa Papua merupakan bagian dari bangsa Indonesia, mereka perlu keluar (dari tahanan) agar bisa bekerja demi menunjang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di Papua," ujarnya.
Lenis pun menjelaskan bahwa pihaknya telah berdiskusi dengan Presiden Jokowi terkait pembinaan lima orang tapol yang baru dibebaskan mulai dari penyerahan di tujuh wilayah adat untuk kemudian diserahkan ke keluarga dan diberi fasilitas sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah.
"Saya sudah bicara sebagai fasilitator antara para tapol dengan Presiden. Ada diantara mereka yang mau sekolah maka Presiden akan fasilitasi. Ada yang mau bekerja maka Presiden memberikan modal, bahkan ada satu orang yang minta rumah itu pun sudah dicatat sebagai bagian dari pembinaan," tutur pria yang diangkat sebagai Stafsus Presiden pada 5 Mei lalu.
Pada kesempatan yang sama, pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto, berpendapat bahwa pembebasan tapol di Papua secara bertahap merupakan wujud komitmen Presiden Jokowi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua terutama untuk memperbaiki ketimpangan ekonomi dan sosial di wilayah paling timur Indonesia itu.
"Lebih bagus lagi kalau tokoh-tokoh lokal yang dibebaskan ini kemudian bisa dibina untuk nantinya masuk ke sistem pemerintahan karena mereka merupakan 'genuine leaders' yang harus bisa diintegrasikan dalam sistem pemerintahan kita," tuturnya.
Praktik serupa, kata dia, sudah lebih dulu diterapkan oleh Kuba dan Brasil dimana pemimpin negaranya juga berasal dari pemimpin masyarakat lokal. Seperti dilansir dalam laman Seskab.go.id, pada kunjungannya ke Papua, 9 Mei lalu, Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada lima tapol di Lapas Abepura, Jayapura.
Kelima tapol yang dibebaskan yaitu Apotnalogolik Lokobal (divonis 20 tahun penjara), Numbungga Telenggen (divonis penjara seumur hidup), Kimanus Wenda (divonis 19 tahun penjara), Linus Hiluka (divonis 19 tahun penjara) dan Jefrai Murib (divonis penjara seumur hidup). "Pada hari ini telah kita bebaskan lima orang. Ini adalah upaya sepenuh hati pemerintah dalam rangka menghentikan stigma konflik yang ada di Papua," kata Presiden Jokowi dalam sambutannya.
Kelima tahanan politik itu divonis bersalah karena terlibat pembobolan gudang senjata Kodim 1710/Wamena pada 2003 lalu. Menurut Presiden, pemberian grasi ini merupakan langkah awal untuk membangun Papua tanpa ada konflik. Presiden menginginkan agar pemberian grasi ini dilihat sebagai bingkai reskonsiliasi untuk terwujudnya Papua damai.