REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergulir. Pemerintah sudah memberi sinyal menarik revisi UU KPK dari program legislasi nasional prioritas 2015. Meskipun begitu, penarikan secara resmi belum disampaikan pemerintah pada DPR.
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, menegaskan permintaan revisi UU KPK ini sebenarnya dari pemerintah sendiri. Sebab, UU KPK dinilai menjadi UU yang masih tertinggal. Maka itu, revisi UU KPK ini sebenarnya keinginan seluruh lembaga, baik eksekutif maupun legislatif, termasuk pimpinan KPK sendiri.
Fahri menuturkan, DPR RI rutin membaca hasil laporan soal KPK. Dalam laporan yang dibaca DPR, masih ada banyak kasus yang ditangani KPK bermasalah.
“Ada kasus-kasus pada masa lalu yang ternyata modus operandinya sama dengan yang dikalahkan di praperadilan, ada 36 kasus,” kata Fahri di kompleks parlemen Senayan, Jumat (26/6).
Dalam kasus-kasus tersebut, terutama yang bermasalah adalah soal penyidik-penyidik KPK. Fahri mengatakan, penyidik KPK di kasus itu seolah boleh melakukan apa saja di luar kerangka sistem peradilan pidana Indonesia. “Yang penting tujuan, menghalalkan segala cara,” kata Fahri menegaskan.
Sebab itu, ketika muncul keinginan untuk merevisi UU KPK, semua pihak sepakat. Bahkan, Fahri mengklaim, sebelumnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah menyetujui untuk melakukan revisi pada UU KPK ini. Selain eksekutif, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), DPR dan DPD juga sudah sepakat harus ada revisi pada UU KPK.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, dalam pertemuan dengan DPR, secara lisan pimpinan KPK juga berharap agar UU KPK direvisi. Salah satunya adalah harus adanya lembaga yang mengawasi KPK.
Jadi, Fahri meminta seluruh pihak jangan sembunyi dari fakta bahwa revisi UU KPK itu diperlukan. Sebab, semua pihak sudah mengatakan ada masalah di internal KPK.
Kalau saat ini sikap lembaga eksekutif ataupun KPK menolak revisi UU KPK, imbuh Fahri, jangan sampai nanti kalau terjadi apa-apa mereka datang ke DPR lagi untuk meminta revisi lagi. “Di kamar rapat lain ngomongnya, di publik lain ngomongnya,” kata Fahri menegaskan.