REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW) mengingatkan kepada pemerintah jangan sampai mengalami disorientasi ihwal adanya dana aspirasi atau revisi Undang-undang KPK.
"Saya kawatir, kalau kita tak punya orientasi yang jelas, akhirnya sekarang orang sedang menunjukkan dia punya kekuasaan, itu bahaya," ujarnya di Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar).
Menurutnya, ada sejumlah hal dasar yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum meributkan pro kontra ihwal dana aspirasi atau revisi UU KPK. Ia mengatakan harus diketahui terlebih dahulu mana yang lebih urgent membicarakan dana aspirasi atau revisi UU KPK.
"Mana yang lebih urgent, mempersoalkan begitu banyak korupsi merajalela atau mengontrol lembaga yang punya kemampuaan mengendalikan korupsi. Supaya kita tidak kehilangan, disorientasi," katanya.
Seperti diketahui, usulan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mencuat. Pada tiga tahun lalu, usulan revisi ini menjadi wacana, namun dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Kini, usulan untuk merevisi kembali dilontarkan Komisi III DPR RI. Bahkan usulan revisi ini telah masuk dalam daftar Prolegnas 2015-2019. Sejumlah poin revisi yang diduga akan direvisi yaitu, pertama kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan. Kedua terkait kewenangan penyadapan oleh KPK.
Ketiga, kemungkinan dibolehkannya KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Keempat, pembentukan badan pengawas untuk KPK. Kelima, kewenang KPK untuk mengangkat penyidik sendiri. Yang terakhir, pengambilan keputusan yang kolektif.
Sementara itu untuk dana aspirasi, Bambang menyatakan dengan tegas, adanya program yang disebut Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) sangat rawan terhadap korupsi.
"Saya tak mengikuti dengan baik, tapi potensi korupsi ada di situ," ucapnya.