REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2015. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan, revisi itu bisa saja ditarik dari prolegnas asalkan ada persamaan pendapat antara pemerintah dengan DPR.
"Pemerintah harus rapat dengan Komisi III DPR, bikin catatan untuk tidak setuju. Baru mempertimbangkan untuk mencabutnya dari prolegnas," kata Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaedi Mahesa di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (25/6).
Selain itu, Desmond mengatakan, proses kesepakatan pencabutan revisi UU KPK harus disahkan di rapat paripurna DPR. Menurut politikus Partai Gerindra tersebut, menyatakan usulan pembahasan revisi UU KPK merupakan hasil kesepakatan rapat. Menurut Undang-undang MPR DPR DPD dan DPRD (UU MD3), revisi itu harus dilanjutkan prosesnya.
"Lain halnya bila Presiden Jokowi mengeluarkan Amanat Presiden (Ampres) untuk mencabut proses revisi UU itu," ujar Desmond.
Desmond menambahkan, dirinya menilai ada perbedaan sikap antara Presiden Jokowi dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam hal revisi UU KPK. Menurut Desmond, hal itu hanya masalah koordinasi Presiden dan Menkum HAM.
"Yasonna menyetujui revisi itu, sementara Jokowi menolaknya," kata Desmond.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menolak revisi UU KPK tersebut. Banyak pihak juga khawatir karena revisi UU KPK berpotensi melemahkan lembaga pemberantas korupsi itu.