REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- "Tak ada manusia yang terlahir sempurna, jangan kau sesali segala yang telah terjadi," lirik lagu dMasiv mengalun di tengah-tengah hampir seratusan komunitas penyandang disabilitas yang mengikuti acara Kafe Solidaritas yang dihelat Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Pondok Indah Mall Jakarta, Rabu (24/6). Ketidaksempurnaan tidak menghalangi mereka mengekspresikan kegembiraannya hadir dan menyuarakan keinginan untuk berpartisipasi secara luas dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa, termasuk dimensi politik.
"Disability is humanity," demikian ungkapan Jonna Damanik, pegiat disabilitas yang aktif menyuarakan hak-haknya di media online. Menurutnya, masyarakat kebanyakan yang normal secara umum mempunyai mindset tertentu dalam memandang kehidupan kalangan disabilitas.
Padahal populasi penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 persen, atau sekitar 25 juta, jumlah yang tidak sedikit secara demografis. Dari sudut apapun, angka tersebut mestinya cukup menggiurkan jika bisa menjadi kelompok kepentingan yang strategis. Sayangnya, sistem yang ada saat ini cenderung mendiskriminasikan disabilitas. Lihat saja, dalam praktik demokrasi melalui pemilu, disabilitas dieksklusikan dari sistem politik.
Kesempatan hak untuk dipilih dalam jabatan politik mempersyaratkan sehat jasmani dan rohani, dan disabilitas dianggap tidak memenuhi syarat tersebut. "Kita masih ingat, bapak bangsa sekaliber Gus Dur pun pernah ditolak maju kembali dalam kancah pilpres dengan alasan yang sama," ujarnya. Tidak usah dulu bicara hak dipilih, bahkan dalam hak memilih pun penyelenggara pemilu tidak berpihak pada disabilitas. "Tidak ada template khusus, bilik suara yang terlalu kecil bagi pengguna kursi roda," keluh Jonna.
Menurut Jonna yang juga penyandang tuna netra, hal ini adalah persoalan hak dasar yang tidak dipenuhi negara bagi kalangan disabilitas. Bersama kalangan pegiat disabilitas lainnya, saat ini Jonna sedang memperjuangkan RUU Disabilitas agar masuk dalam Prolegnas 2015. Sebetulnya sudah banyak peraturan baik di tingkat undang-undang atau di bawahnya yang mengatur hak-hak disabilitas, tetapi implementasinya hanya berhenti sekadar ada fasilitasnya. Contoh sederhana, guiding block di trotoar pedestrian Jalan Sudirman memang disediakan oleh pemerintah, tetapi tidak jarang jalur tersebut terhalang oleh tiang listrik, yang tentu saja menyulitkan bagi aksesibilitas penyandang tuna netra.
Perjuangan advokasi yang dilakukan Jonna merupakan pilihan strategi untuk mengarusutamakan (mainstreaming) isu disabilitas. "Media apapun, dalam format apapun, adalah sarana untuk perjuangan, termasuk kehadirannya di ruang publik untuk mengedukasi publik," kata Jonna. Hegemoni normalitas adalah mindset yang harus diubah, sebagai sebuah bentuk relasi kuasa yang menindas kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. "Jumlah kami besar, tetapi suara kami hanya dibutuhkan tiap lima tahun sekali, partai-partai datang kami menawarkan aksi-aksi karitatif. Padahal bukan itu yang dibutuhkan oleh disabilitas," katanya.
Jonna menambahkan, "Kami ingin didengarkan, kami butuh orang-orang yang open minded, mau menerima kami."
Jika Jonna bicara tentang mindset di kalangan masyarakat, hal berbeda diungkapkan oleh Angkie Yudistia. Pendiri dan CEO Thisable Enterprise ini pernah mengalami keterpurukan ketika menghadapi kenyataan dirinya kehilangan kemampuan pendengar. Angkie meyakini, ada persoalan mentalitas ketidakpercayaan diri di kalangan disabilitas sendiri yang menghambat partisipasi dalam berbagai sektor masyarakat. Bagi Angkie, pendidikan inklusi adalah jawaban untuk mengatasi persoalan tersebut, di mana tidak ada pembedaan antara disabilitas dengan masyarakat normal pada umumnya.
Angkie berharap pemerintah melalui Kementerian Pendidikan bisa mengakomodasi aspirasi kalangan disabilitas. "Pendidikan adalah kunci untuk menggapai mimpi masa depan," ungkap Angkie. Melalui pendidikanlah, generasi muda disabilitas bisa bangkit dan berkontribusi bagi masa depan bangsa.