REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berpendapat, jika Presiden Joko Widodo akan melakukan reshuffle, maka Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri layak diganti.
“Sebab, tidak ada satupun kebijakan Hanif yang dirasakan buruh. Malah banyak kebijakannya yang kontroversial merugikan dan meresahkan buruh,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (24/6).
Ia mencontohkan, beberapa kebijakan Hanif yang meresahkan buruh seperti surat edaran direktur jenderal yang memuat setiap PUK di perusahaan yang punya anggaran dasar (AD)/ anggaran rumah tangga (ART) sendiri, rencana kenaikan upah yang menjadi dua hingga lima tahun sekali, tripartit nasional (tripnas) yang sudah bubar, ratusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati tanpa kejelasan aksi Menaker. Selain itu, kebijakan atau peraturan yang dilakukan Hanif dinilai yang tidak berjalan seperti rancangan peraturan pemerintah (RPP) jaminan pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang tidak selesai.
Padahal, program ini per 1 Juli 2015 sudah harus berjalan. Kemudian program BPJS Kesehatan untuk buruh melalui koordinasi manfaat berhenti di tempat.
“Selain itu penggunaan sistem pekerja outsorcing (alih daya) kembali marak secara masif termasuk di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena lemahnya penegakan hukum,” ujarnya.
KPSI juga mengkritik kebijakan menaker tentang perumahan buruh yang tidak jelas, karena hanya berlindung dibalik presiden. Kriminalisasi dan kekerasan terhadap buruh maupun pimpinannya semakin marak terjadi tanpa ada bantuan Menaker.
Tak hanya itu, kebijakan upah minimum dari Menaker juga dinilai tidak jelas orientasinya. Gerakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan produktivitas menurun.