REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pekerja yang bertifikasi profesi di Jawa Barat disebut masih minim. Salah satu hambatannya,adalah biaya sertifikasi yang cukup mahal.
Menurut Wakil Ketua I Badan Kordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP) Jabar Hening Widiatmoko, dari 400 lebih profesi yang memiliki Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di Jabar, jumlah pekerja bersertifikat masih jauh dari kata cukup.
"Tidak sampai 100 yang punya lembaga sertifikasi profesi (LSP) di bawah 50," ujar Hening kepada wartawan di Bandung, Rabu (24/6).
Menurutnya dari sekian profesi, sertifikasi yang sudah berjalan baik baru di sektor perhotelan. Sementara profesi lain, antar asosiasinya tidak kompak untuk sadar pentingnya membentuk LSP.
"Sektor konstruksi, perawat dan manufaktur itu bukan kedodoran, tapi memang nggak kompak. Kita ngeri kalau melihat agenda MEA (masyarakat ekonomi asean) saja," katanya.
Hening menilai, jika pengurus asosiasi saja tidak sadar akan pentingnya sertifikasi, maka di tingkat pekerja minat itu makin rendah. Padahal sertifikasi menjadi salah satu kunci daya saing dan peluang kerja di luar negeri.
"Konstruksi seharusnya bisa disertifikasi peluang kerja di Timteng besar, Malaysia besar cuma ya memang nyari sertifikat," katanya.
Sektor manufaktur yang menurutnya termasuk industri paling kuat di Jabar pun masih kedodoran mensertifikasi para pekerjanya. Sampai saat ini, belum ada satupun LSP di sektor tersebut padahal jika tersertifikasi, asosiasi pekerja bisa mengajukan upah minimum sektoral. "Kalau ada LSP kan asosiasi sepakat untuk satu kata itu bisa upah minimun sektoral diberlakukan," katanya.
Menurut Hening, persoalan yang menghambat percepatan sertifikasi pekerja di Jabar selain asosiasi tidak memikirkan keuntungan memiliki sertifikat, juga dibarengi malasnya para pekerja mempelajari bahasa asing.
"Makanya kita butuh pelatihan bahasa yang masif, Inggris, Mandarin dan Jepang itu yang banyak peluang. Kalau hanya terampil tapi gak bisa berbahasa ya percuma," katanya.
Selain itu, kata dia, kesadaran para pekerja masih rendah, karena terkendala biaya sertifikasi yang tinggi mencapai lima juta/orang yang berisi pelatihan selama sebulan. Pemerintah Provinsi Jabar, berupaya membantu dengan memberikan bantuan biaya sertifikasi kepada 500 pekerja setiap tahun. Akan tetapi, bantuan tersebut dianggap minim mengingat jumlah pekerja yang belum tersertifikasi masih sangat banyak.
"Masih ada banyak pekerja yang belum punya sertifikasi profesi. Idealnya, bantuan yang diberikan diatas 1.000 sertifikat," katanya.
Hening menjelaskan, sertifikat profesi juga sangat menguntungkan bagi para pekerja agar punya posisi tawar kepada perusahaan. Keberadaan sertifikat, akan mendorong pemberlakukan upah minimum sektoral yang kini baru diterapkan di Sukabumi dan Indramayu.
Untuk mendorong sertifikasi di Jabar, kata dia, pihaknya mengandalkan Badan Koordinasi Sertikasi Profesi (BKSP) yang beranggotakan dari sejumlah unsur mulai dari Pemprov, Kadin, PHRI, dan lain-lain.
Menurutnya, MEA sudah didepan mata sehingga dibutuhkan banyak Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang bertugas melakukan uji kompetensi. Kegiatan uji kompetensi sendiri membutuhkan tempat uji dan accesor.
Dia mengaku BKSP bukan hal yang baru karena lembaga ini pernah dibentuk ketika kepemimpinan Gubernur Dani Setiawan. Ketika itu pengelolaannya berada di tangan Kadin Jabar, namun kegiatannya kurang berjalan dengan baik.
BKSP sendiri, kata dia, kembali dihidupkan kembali dibawah kepempinan Gubernur Ahmad Heryawan dengan motor penggerak mantan Sekda Jabar Alm. Wawan Ridwan. "Kami akan cicil profesi mana yang sudap siap untuk didorong LSP-nya. Kawan-kawan dari serikat pekerja banyak yang tertarik dan ikut mendukung," katanya.