Rabu 24 Jun 2015 17:12 WIB

Mendagri Terima Pengunduran Diri Wali Kota Pekalongan

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (keempat kanan) mendengarkan penjelasan dari anggota Komisi II saat Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/6).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (keempat kanan) mendengarkan penjelasan dari anggota Komisi II saat Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan telah menerima surat pengunduran diri Wali Kota Pekalongan Mohamad Basyir Ahmad di Jakarta, Rabu (24/6).  Tjahjo menerima surat tersebut secara langsung saat Basyir mendatangi kantor Kemendagri di Jakarta.

"Tadi (Wali Kota Pekalongan) sudah ke sini dan mengatakan mengajukan mundur per Juli," kata Tjahjo.

Mendagri menjelaskan alasan pengunduran diri Wali Kota Pekalongan tersebut bukan disebabkan oleh ada kerabat yang akan maju dalam pencalonan pilkada.

"Dia mengatakan pengunduran dirinya bukan karena istrinya mau maju dalam pilkada, dia ingin netral makanya lebih baik dia mundur," tambahnya.

Dalam penyerahan surat pengunduran diri tersebut, Mendagri juga telah menerima surat dari Ketua DPRD Kota Pekalongan yang tidak lain adalah istri Basyir, Balqis Diab.

Sementara itu, ketika dihubungi secara terpisah, Basyir mengaku salah satu alasan pengunduran dirinya adalah karena ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 bahwa calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan pejabat kini.

"Salah satu alasan saya mundur adalah bunyi UU itu yang tidak boleh ada konflik kepentingan, makanya saya lepas dari jabatan dan berhenti sebagai Wali Kota," kata Basyir.

Dia juga membantah ada kerabat yang akan mencalonkan diri dalam pilkada serentak 2015. Menurutnya, pengunduran diri itu sebagai bentuk protes terhadap pasal UU yang membatasi hak politik setiap warga negara.

"Pasti semua orang curiga, itu wajar saja. Tapi ini bentuk kekecewaan saya terhadap bunyi UU yang seharusnya semua warga Negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam berpolitik," ujarnya.

Bunyi pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota melarang calon kepala daerah memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat kini, baik ayah, ibu, suami, istri, kakak, adik, menantu maupun ipar.

Hal itu menyebabkan sejumlah kepala daerah berencana mengundurkan diri guna memuluskan jalan kerabatnya dalam pilkada.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement