Selasa 23 Jun 2015 10:58 WIB

KPI Pertanyakan Revisi UU Penyiaran

Rep: C14/ Red: Ilham
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masuk ke dalam prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini. Kendati demikian, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Judhariksawan menilai pesimistis dampak revisi regulasi tersebut bagi lembaganya.

Menurut Judhariksawan, KPI selama ini tidak cukup kuat dalam melakukan tugasnya. Sebab, implementasi UU No 32/2002 jauh panggang dari api. Misalnya, dia mencontohkan, KPI tak bisa lagi melakukan pencabutan izin siaran, sebagai sanksi terberat, untuk lembaga penyiaran yang memang melanggar aturan.

"Bahwa selama ini Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tidak pernah dijalankan dengan benar. Karena terjadi banyak sekali anomali. Hal-hal yang menegasikan bunyi Undang-undang itu sendiri," ucap Judhariksawan di Kantor KPI Pusat, Jakarta, Senin (22/6).

Dia menuturkan, pada 2004 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan atas UU No 32/2002. Sehingga, diputuskan bahwa kewenangan KPI diperkecil, antara lain dengan mendelegasikan wewenang pencabutan hak siaran kepada Kemenkominfo. Selain itu, pencabutan demikian mesti melalui putusan pengadilan.

Bagi Judhariksawan, revisi UU No 32/2002 belum bisa dipastikan. Apakah akan memperkuat atau justru kian memperlemah kewenangan KPI pasca-putusan MK itu. Menurut dia, putusan MK ini tidak sesuai dengan cita-cita UU Penyiaran. Sebab, KPI sebagai lembaga independen seolah-olah di bawah Kemenkominfo untuk bisa menjalankan tugasnya.

"Terus keluarlah peraturan-peraturan pemerintah yang menegasikan posisi KPI," sambung Judhariksawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement