REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki usia yang ke 488, Provinsi DKI Jakarta semakin memunculkan beragam fenomena Kota Metropolitan dan ibu kota sebuah negara berkembang. Modernitas dengan gedung pencakar langit, pusat hiburan, gemerlap malam dan pembangunan transportasi massal modern seperti MRT dan LRT.
Namun berdasarkan hasil survey Indeks Kebahagiaan penduduk tahun 2014 yang belum lama dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil survei BPS tersebut menunjukkan Indeks Kebahagiaan Penduduk Jakarta sebesar 69,21.
Menurut Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana, angka ini berada dibawah beberapa provinsi yang memiliki Indeks Kebahagiaan yang lebih tinggi dengan tiga teratas adalah Riau dengan Indeks 72,42, Maluku 72,12 dan Kalimantan Timur 71,46.
Menurut Sani, sapaan akrab Triwisaksana, Angka ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi bukan merupakan variabel utama penentu kebahagiaan, “Ini sebabnya indeks kebahagiaan juga disebut beyond GDP karena diukur bukan hanya berdasarkan tingkat ekonomi suatu wilayah,” ujarnya dalam siaran persnya yang diterima Republika Online.
Di sisi lain, katanya, Jakarta masih mengalami problem serius seperti kemacetan, banjir, kemiskinan dan pemukiman padat dan kumuh, serta kriminalitas yang semakin tinggi juga menyebabkan rendahnya indeks kebahagiaan di DKI Jakarta “Bagaimana bisa indeks kebahagiaan tinggi kalau mau kemana-mana macet, kriminalitas tinggi, lingkungannya kumuh dan kotor,” ungkap politikus PKS asal daerah pemilihan Jakarta Selatan VII ini.
Masih menurut Sani, tingkat kepuasan yang rendah dibidang pendidikan, pendapatan dan pekerjaan juga menyebabkan rendahnya tingkat kebahagiaan di DKI Jakarta. Hal ini tentu harus menjadi perhatian Pemda DKI Jakarta, karena ketiga indikator ini sangat lekat dengan kebijakan pemerintah. “Pelayanan pendidikan yang belum memuaskan, pendapatan yang rendah dan sulitnya mencari pekerjaan juga mempengaruhi indeks kebahagiaan di Jakarta, ini tentunya sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah,” ujarnya.