REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI meminta pemerintah tidak main-main soal pengajuan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi UU KPK merupakan inisiatif pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM.
Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR, Firman Subagyo mengatakan pemerintah tidak konsisten dengan sikapnya untuk mengajukan revisi UU KPK. Padahal usulan revisi UU KPK merupakan inisiatif dari pemerintah. "Bukan masalah tarik-menarik revisi di prolegnas, tapi konsistensi pemerintah. Ada hitam di atas putih kok, pidato resminya ada," kata Firman di kompleks parlemen Senayan, Senin (22/6).
Firman mengatakan, revisi UU KPK adalah usulan resmi dari pemerintah. Sehingga kalau pemerintah mencabut usulan revisi UU KPK ini, menurut dia, artinya pemerintah main-main.
Awalnya, kata dia, revisi UU KPK akan dilakukan setelah revisi UU KUHP. Tapi pemerintah mendesak tiga RUU dimasukkan dalam prolegnas prioritas tahun 2015. Yaitu Revisi UU KPK, bea materai dan terorisme.
Baleg hanya mengakomodir dua RUU yang dapat dimasukkan dalam prioritas 2015, yaitu revisi UU KPK dan Bea Materai. Dalam pengajuan mendesak revisi UU KPK, imbuh Firman, terjadi perdebatan panjang.
Pemerintah, kata dia, harus konsisten dengan pengajuan usulan revisinya. Sebab, hal ini akan berdampak pada anggaran di APBN. "Prolegnas harus disetujui sebelum APBN diketok palu karena ini menyangkut anggaran," imbuh dia.
Politikus partai Golkar ini mengatakan, jika pemerintah mencabut usulan ini atau presiden tidak menyetujui, artinya ada ketidaksesuaian antara Presiden Joko Widodo dengan Menkumham, Yasonna Laoly.
Saat Laoly menyampaikan pidato soal urgensi revisi KPK, harusnya Menkumham mewakili Presiden Jokowi. Bahkan, dalam pidatonya di DPR, Menkumham juga menyampaikan urgensi revisi UU KPK soal penyadapan.