REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mewacanakan pembebasan bersyarat untuk narapidana penyalahguna narkoba yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) melalui assessment terpadu sebagai rujukan pembebasan itu.
"Rencana pelaksanaan assessment terhadap kurang lebih 20.000-an napi yang bermasalah dengan adiksi narkoba menjadi terobosan progresif yang harus dieksekusi dengan cepat sehingga upaya penanggulangan masalah narkoba dalam jeruji besi bisa terlaksana dengan maksimal," katanya dalam keterangan pers, Sabtu (20/6).
Ia mengungkapkan dari hasil tinjauannya di seluruh lapas di Indonesia, tercatat kasus narkoba menempati urutan paling atas. Pihaknya menilai sebagian besar napi diduga kuat hanya penyalahguna narkoba semata.
Karena itu, menurutnya, jika wacana assessment sudah bisa diimplementasikan maka napi yang sudah dibebaskan itu akan diwajibkan untuk menjalani rehabilitasi.
"Jika 20.000-an penyalah guna murni itu bisa dibebaskan secara bersyarat, maka dampaknya cukup signifikan, antara lain pihak lapas bisa mengalokasikan dana untuk perbaikan fasilitas, sehingga kita perlu uji coba langkah ini," ujar Menkumham.
Karena itu, menurut Yasonna, wacana pemberian grasi terhadap para penyalahguna narkoba kian mendesak untuk segera direalisasikan.
"Untuk mendapatkan pembebasan bersyarat itulah Tim Asesmen Terpadu nantinya akan berperan penting untuk memastikan apakah sang napi benar-benar penyalahguna murni atau merangkap sebagai bandar. Jika terbukti hanya sebagai penyalahguna murni maka mereka rencananya akan diberikan grasi," jelasnya.
Pihaknya pun berupaya menyiapkan gagasan assessment terpadu tersebut secara matang.
Terkait hal ini, Menkumham telah menemui Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) guna membahas dua hal penting yaitu percepatan program rehabilitasi untuk para napi dan juga persoalan perampasan aset bandar untuk kepentingan operasional penanggulangan narkoba.