REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki menyebut bahwa Presiden Joko Widodo menginginkan revisi Undang Undang KPK ditunda sampai revisi Undang Undang KUHAP dan KUHP tuntas.
"Presiden bilang ditangguhkan sampai ada sinkronisasi undang-undang KUHP dan KUHAP lah, masih lama," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (19/6).
KPK sendiri, menurut Ruki, sebenarnya memiliki keinginan yang sama dengan Jokowi. KPK mendorong agar Undang-Undang KUHAP dan KUHP direvisi terlebih dahulu dan disesuaikan dengan UNACC. Setelah itu, barulah UU KPK boleh direvisi.
Meski demikian, Ruki menegaskan bahwa revisi yang akan dilakukan pada UU KPK tak akan sembarangan. Sebab, KPK sendiri yang akan memberikan masukan pada DPR terkait aturan yang akan disempurnakan dalam UU tersebut.
"Kami tetap akan memberi masukan kepada DPR dalam rangka penyusunan itu. Tetapi tentu sangat tidak mungkin kami mengusulkan pasal-pasal yang bisa mengenakan kita sendiri," ucap Ruki.
Sementara itu, terkait usulan agar KPK diberi kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Ruki menyebut bahwa lembaganya belum membutuhkan hal itu.
Tidak adanya kewenangan mengeluarkan SP3, menurut dia, justru akan memacu KPK bekerja lebih keras lagi. Sehingga tak akan ada kasus yang sampai ke pengadilan kalau kurang bukti.
Ruki mengatakan ada situasi yang mau tak mau membuat penyidikan harus dihentikan, salah satunya apabila tersangka meninggal dunia. "Nah hal-hal seperti itu yang harus dijelaskan sedikit di dalam undang-undang. Tetapi kalau perkara-perkara yang lain, karena kurang bukti atau segala macam, tidak boleh. Tidak boleh sama sekali KPK diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan," tutur Ruki.