REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajuan dana aspirasi disebut sebagai dampak dari landasan hukum yang bias. Dalam hal ini penggunaan pasal 80 J Undang-Undang MD3 sebagai dasar hukum dana aspirasi dinilai sebagai pemicu lahir ya dana liar seperti itu.
Peneliti Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, kebiasan itu menjadi penyebab wacana yang sebenarnya menyalahi kewenangan DPR. Anggota legislatif seharusnya hanya bertanggung jawab pada fungsi penganggaran.
"Saya melihat ini juga terjadi akibat biasnya landasan hukum yang memang dipakai mereka yaitu pasal 80 J UU MD3," kata Erwin saat dihubungi Republika Online (ROL), Kamis (18/6).
Dalam pasal 80 J Undang-Undang MD3, disebutnya, tertulis anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Namun dalam aturan tersebut tidak dijelaskan secara rinci fungsi yang dimaksud seperti apa. Jadi, bisa dikatakan rancu yang kemudian dijadikan landasan oleh pembuatnya sendiri, dalam hal ini legislator.
Hal tersebut juga dinilai Penggunaan pasal 80 J Undang-Undang MD3 sebagai dasar para anggota dewan untuk mengajukan program pembangunan daerah pemilihannya itu memang sudah lama dinilai sebagai pemicu timbulnya usulan dana-dana liar seperti dana aspirasi.
Ia menyebut wacana ini juga sebagai adanya upaya pembengkakkan kewenangan oleh DPR. DPR sudah mencampuri ranah eksekutif untuk mengelola anggaran. Ketentuan ini tentunya menabrak prinsip tanggung jawab sejatinya.
Wacana dana aspirasi disebutnya wajar membuat masyarakat heran dan menuai kritik. Masyarakat masih menilai kinerja DPR belum maksimal. Masih kewalahan di ranah legislatif, namun ingin juga mengemban tanggung jawab lembaga eksekutif.