REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Keberhasilan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan proses deradikalisasi pada narapidana tindak pidana terorisme seperti Umar Patek, menjadi titik tolok meningkatkan kualitas petugas lembaga pemasyarakatan (lapas). Karena itu BNPT merasa perlu menyusun modul identifikasi sebagai bagian dari pembinaan mereka.
Antara lain, dengan bersinergi dengan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Menkumham. Dengan adanya modul itu, proses pembinaan yang dilakukan BNPT terhadap Umar Patek bisa dilakukan di tingkat petugas Lapas.
"Kami melakukan pendekatan dan pembinaan dengan pendekatan hati. Umar Patek misalnya, susah didekati karena dia tokoh hebat di lingkungannya. Tapi kita yakin dia seorang Muslim yang taat, punya hati dan pikiran dan pasti bisa diajak kerja sama," kata ketua Bidang Resosialisasi dan Rehabilitasi (Resoshab) BNPT, Werijon, Kamis (18/6).
Menurutnya, pendekatan terhadap narapidana tindak pidana terorisme memang memerlukan kesabaran dan trik khusus. Misalnya terhadap Patek, dia cukup lama mempelajari apakah BNPT benar-benar datang untuk membina atau hanya sekadar pura-pura. Sampai akhirnya dia mau bercerita tentang bagaimana kehidupannya.
"Bahkan untuk mendekati dia, kami ikhlas dia memegang kepala dan telinga, bahkan mengajak saya foto selfie yang selama ini tidak pernah dilakukan,” ungkap Werijon.
Dari situ, ujar dia, akhirnya Patek merasa mendapat teman. BNPT pun selalu mendengar cerita-cerita Patek seraya memberi kesadaran tentang pandangan keliru tentang arti jihad. "Saya panggil dia brother Umar. Saya sampaikan bahwa brother Umar seharusnya bisa memberikan contoh atau pesan kepada kawan-kawan atau calon orang-orang yang akan berjihad, bahwa jihad yang dijalankan itu tidak tepat," kata dia.
Werijon pun merasa bersyukur, setelah melalui proses yang cukup pelik, Patek bersedia melaksanakan itu. Bahkan pada Hari Kebangkitan Nasional di Lapas Porong, 20 Mei lalu, Patek dengan rela hati mau menjadi petugas pengibar bendera Merah Putih.
"Kita berikan mereka rasa damai dan saya sampaikan kehadiran BNPT itu adalah bentuk perhatian negara. Tidak ada maksud lain. Intinya kami ingin dia menjadi agen perubahan bagi keutuhan NKRI," papar Werijon.
Dengan adanya modul itu, ia berharap, kualitas petugas lapas terkait pembinaan narapidana tindak pidana terorisme itu lebih meningkat. Karena selama ini proses itu dilakukan dengan mengira-ngira dan memperhatikan saja.
Werijon menjelaskan, pembuatan modul identifikasi itu dipimpin langsung oleh guru besar psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk MSi. Hamdi menjelaskan, ibarat orang sakit, modul ini semacam general check up.
"Nantinya setelah tahu kondisinya, baru akan kita kelompokkan, mana yang inti, mana yang militan, pendukung, dan yang penggembira saja. Jadi penanganan kita berdasarkan data. Untuk membuat program deradikalisasi dasarnya harus data itu karena kondisi napi terorisme itu berbeda-beda," terang Hamdi.
Hamdi menjabarkan, instrumen identifikasi akan mengungkap dari awal, yaitu motif masuk kelompok radikalisme, aspirasi politik mereka, sikap terhadap negara, masyarakat, demokrasi, toleransi. Juga sikap tentang umat Islam yang diperlakukan tidak adil, dipencilkan, dimarjinalisasi.
"Karena itu yang biasanya mendorong mereka untuk melakukan jihad. Kita ukur bagaimana pemahaman tentang jihad, khususnya jihad khittoh (jihad perang). Apakah jihadnya sepotong-sepotong, bagaimana konsepsi dia tentang hubungan Islam dengan negara, keharusan mendirikan negara Islam, dan tingkat dia melakukan tindakan kekerasan violence extrimisme. Juga tingkat fundamentalisme dan fanatisme," kata Hamdi.