REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan pengajuan dana aspirasi anggota DPR bukan kali pertama terjadi. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, rencana ini juga pernah diajukan, namun ditolak.
Siti menilai DPR memang memiliki wewenang budgeting, tapi eksekusinya tetap berada di lembaga eksekutif. "DPR over lapp kalau begini (eksekusi dana aspirasi), karna itu bukan domain legislatif. Legislatif hanya melakukan pengawasan dan regulasi saja. Sudah jelas tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing," jelas Siti pada Republika, Kamis (18/6).
Pengajuan dana aspirasi ini, menurutnya, juga menunjukan bahwa demokrasi di Indonesia identik dengan kata 'mahal'. Partai politik (Parpol), yang selama ini menjadi pilar demokrasi, kata dia, tidak lagi mewakili aspirasi masyarakat.
"Mereka justru mereka-reka dana aspirasi. Seperti tidak punya simpati dan empati pada masyarakat," tutur Siti.
Terlebih, lanjutnya, kondisi kemiskinan di Indonesia masih menyentuh angka puluhan juta orang. Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau lebih dikenal dengan dana aspirasi adalah wujud dari pelaksanaan tugas konstitusi DPR yang sudah diatur dalam undang-undang maupun sumpah jabatan legislator. Penolakan terhadap dana aspirasi, menurutnya, berarti menolak konstitusi dan melanggar sumpah jabatan DPR.