REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Komisi III DPR tak memberikan hak mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk lembaga tersebut dalam rencana revisi UU KPK.
Wakil Ketua KPK sementara Johan Budi Sapto Prabowo mengatakan, usulan pemberian hak mengeluarkan SP3 itu, bertentangan dengan kekhususan lembaga antirasuah tersebut.
Dikatakan Johan, pun usulan pemberian hak untuk mengeluarkan SP3 itu, disampaikan dengan cara personal. Meskipun ide tersebut, pertama kali dilontarkan oleh Ketua KPK sementara Taufiqqurahman Ruki.
"Mungkin itu ide Pak Ruki sendiri. Harus dilihat juga filosofi KPK berdiri. Mengapa tidak ada SP3?" kata dia, saat ditemui disela Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (18/6).
Diterangkan olehnya, ketiadaan SP3 oleh KPK punya maksud khusus. Sejak awal dibentuk KPK dimaksudkan sebagai lembaga anti-korupsi yang mengharuskan menutup semua celah adanya praktik koruptif dalam menjalankan fungsi penyidikannya. Adanya SP3, dikatakan Johan memberi peluang bagi penyidik untuk menjual belikan kasus atau perkara.
Tanpa SP3 itu, pun kata dia memberikan kehati-hatian bagi penyidik dikorps anti-korupsi itu untuk menetapkan seseorang jadi tersangka korupsi.
"Jadi, ada sejarahnya," ujar Johan.
Ia pun menghendaki agar tak adanya SP3 di KPK, tetap di pertahankan.
"Saya kira (KPK tak ada SP3) harus dipertahankan," sambung dia.
Sebelumnya, pemimpin KPK menyampaikan usulan agar lembaga penegakan anti-korupsi itu diberikan hak yang sama seperti lembaga penyidikan lainnya. Terutama dalam hak penghentian penyidikan atas suatu perkara, atau SP3.