REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- DPC Partai Gerindra Kota Surabaya menolak gagasan Pilkada Surabaya dilakukan secara aklamasi atau musyawarah mufakat yang digulirkan DPC PDIP Surabaya pada saat pertemuan elit partai di kediaman Wakil Wali Kota Surabaya, Selasa (16/6).
Ketua Tim Penjaringan Cawali dan Cawawali DPC Gerindra Surabaya, AH Thony, di Surabaya, Rabu (17/6), mengatakan Gerindra Surabaya memandang gagasan Pilkada secara aklamasi adalah hal yang lumrah. "Fenomena itu sah-sah saja karena kebebasan berpendapat itu dilindungi undang-undang," katanya.
Apalagi, kata dia, argumentasinya adalah dalam rangka untuk menciptakan efisiensi biaya dan meletakkan azas demokrasi pada sila keempat Pancasila. "Ini sungguh luar biasa. Saya yakin, tidak semua orang di Indonesia yang bisa memahami dan menyadari pentingnya hal itu. Akan tetapi pikiran seperti itu rasanya mustahil untuk bisa dilakukan disaat sekarang," katanya.
Thony mengatakan hal itu sulit dilakukan karena ada beberapa hal yang menghadangnya yakni antara lain KPU rasanya tidak mungkin akan merubah sistem dan jadwal yg sudah dibuat. Selain itu, lanjut dia, mana mungkin masyarakat ikhlas melepaskan hak pilihnya untuk digantikan dengan sistem lain disaat krisis legitimasi dalam proses rekruitmen politik sedang terjadi seperti pada saat ini.
"Jangankan melalui musyawarah mufakat hanya dengan melibatkan pimpinan parpol. Usulan pilkada melalui dewan lagi saja ditolak. Padahal dewan itu statusnya dimata hukum representasinya sebagai perwakilan rakyat. Sedangkan undang-undang tidak mengamanahkan proses rekruitmen politik jabatan kepala daerah itu bisa dilaksanakan atau diselesaikan melalui forum musyawaarah pimpinan partai politik itu," katanya.
Menurutnya, kemungkinan alur pikir politik yang hendak dipergunakan untuk merasionalkan gagasan itu adalah dengan cara memulai membangun kekuatan politik. Agar kedepannya bisa melakukan langkah pengguguran aturan hukum melalui class action atau yang lainnya. Kemudian digantikan dengan sistem musyawarah.
"Tapi dari sisi waktu aspirasi politik yang berkembang di masyarakat, kedudukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan aturan pendukung lainnya hampir semuanya itu tidak memungkinkan untuk melakukan perbuatan hukum seperti melakukan class action dan semacamnya itu," kata Thony.