REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Indonesia institute for Development (Inded) Arif Susanto menilai pengusulan dana pembangunan daerah pemilihan sebesar Rp20 miliar untuk setiap anggota dewan adalah bentuk salah persepsi para legislator terhadap UU Nomor 17 Tahun 2003.
"Alasan yang dikeluarkan untuk Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP), saya yakin ada keasalahan persepsi terhadap UU MD3," kata Arif setelah diskusi bertajuk 'Berhentilah Merampok Dana Rakyat Indonesia' di Jalan H. Agus Salim, Jakarta, Selasa (16/6).
Menurut Arif, dana Aspirasi yang diajukan oleh DPR didasarkan pada kesalahan penafsiran UU MD3 itu yaitu pasal 78 dan pasal 80 huruf (J). Pasal 78 tersebut berbunyi bahwa para anggota dewan akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara Pasal 80 huruf (J) UU MD3 yang berbunyi, Anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
"Ini tidak sesuai dengan fungsi dan tugas pokok anggota DPR untuk legislasi, pengawasan, anggaran dan aspirasi karena yang tertulis adalah mengusulkan bukan memasukan apalagi menganggarkan," ujarnya.
Lebih lanjut, Arif mengatakan pengusulan itu juga jadi bermasalah ketika melihat prestasi kerja yang sudah dilakukan anggota dewan selama ini dan capaiannya seperti apa.
"Keinginan DPR periode ini untuk mengalokasikan Rp11,2 triliun pertahun untuk 560 anggotanya. Kita harus lihat dulu apa yang sudah dicapai anggota DPR periode sekarang ini, saya rasa dengan prestasi yang ada, kawan-kawan di DPR ini mengalami sesat pikiran," ucap Arif, menegaskan.
Kinerja DPR juga, kata Arif, justru kontra produktif yang terlihat dari program legislasi setiap tahun, di mana para wakil rakyat tersebut hanya menghasilkan rata-rata 32 undang-undang, jauh dibandingkan target prolegnas yang mencapai 74 UU.
"Dari yang sudah dihasilkan juga kualitas legislasinya masih dipertanyakan lebih dari 500 UU digugat ke Mahkamah Konstitusi, dan 10 persen di antaranya dibatalkan sebagian atau seluruhnya karena melanggar hak konstitusional warga negara," tukasnya.
Selain itu, lanjut Arif, jika melihat catatan PPATK, ada 42 persen anggota dewan terlibat korupsi, ini membuktikan bahwa sebagian anggota dewan tidak kompeten.
"Jika melihat data ini maka perlu dilakukan audit terhadap mereka, ada dua audit yaitu, audit kinerja kerja dan audit keuangan," tuturnya.
Dia menambahkan jika usulan dana aspirasi ini terealisasi maka akan terjadi tumpang tindih kebijakan pembangunan antara badan legislatif dan eksekutif, adanya praktik percaloan proyek dengan lobi-lobi tidak sehat serta akan menimbulkan kesenjangan yang semakin di setiap daerah.
"Nanti efeknya akan tumpang tindih kebijakan, tidak akan ada pemerataan pembangunan karena anggota dewan di semua daerah jumlahnya berbeda serta akan ada lobi tidak sehat pengusaha dan anggota DPR untuk proyek pembangunan," pungkasnya.