REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Sebanyak 13 bahasa daerah di Nusantara memiliki penutur terbanyak yakni mencapai lebih dari satu juta orang, sedangkan 14 bahasa daerah lainnya sudah punah karena minimnya jumlah penutur.
"Ada 13 bahasa daerah yang punya penutur terbanyak dan masih jauh dari ancaman kepunahan," kata Aziz Qahar Mudzakkar, saat kunjungan kerja Komite III DPD RI ke Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu di Kota Bengkulu, Selasa (16/6).
Kunjungan kerja tersebut untuk mengumpulkan data dan dokumen dalam rangka penyusunan draf Rancangan Undang-Undang tentang Bahasa Daerah yang akan didorong ke DPR RI menjadi salah satu program legislasi nasional pada 2016.
Ia mengatakan 13 bahasa daerah tersebut yakni Bahasa Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Makassar dan Bugis.
Jumlah bahasa daerah yang terdapat di Nusantara menurut catatan Unesco lebih dari 740 bahasa, dan sebanyak 136 bahasa daerah masuk kategori terancam punah.
"Ada 14 bahasa daerah yang sudah mati atau punah karena penuturnya tidak ada lagi," ungkapnya.
Bahasa daerah yang sudah punah tersebut yakni 10 bahasa dari Provinsi Maluku yaitu Bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te'un, Palumata, Loun, Moksela, Naka'ela dan Nila.
Sedangkan dua bahasa berasal dari Provinsi Maluku Utara yakni Ternateno dan Ibu serta dua bahasa berasal dari Provinsi Papua yakni Bahasa Saponi dan Mapia.
Karena itu kata Aziz, Komite III DPD RI menggunakan hak inisiatif untuk menyusun draf RUU Bahasa Daerah.
Selain Provinsi Bengkulu, anggota Komite III akan mengunjungi beberapa daerah di Nusantara untuk mengumpulkan bahan dan dokumen serta masukan untuk penyusunan draf RUU tersebut, yakni Sulawesi Utara dan Jawa Timur.
Keberadaan UU tentang Bahasa Daerah menurut senator asal Sulawesi Selatan ini guna melindungi kekayaan bahasa daerah dan merawat kearifan lokal dan kekayaan budaya nasional.
Pembentukan RUU Bahasa Daerah lanjut dia merupakan bagian dari respon globalisasi dengan melakukan penguatan identitas dan karakter nasional.