REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan dirut PLN Dahlan Iskan akhirnya menunjuk pengacara Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum dalam kasus yang menjeratnya sebagai tersangka. Setelah memilih berbagai nama, ia menjatuhkan pilihan kepada pakar hukum tata negara sekaligus mantan menteri sekretaris negara Yusril Ihza Mahendra.
"Begitu banyak pengacara yang bersedia membantu. Tinggal pilih: yang dar-der-dor, yang taktis, yang lemah-gemulai atau yang bagaimana? Saya serahkan sepenuhnya pada teman-teman," kata Dahlan melalui laman Gardudahlan.com
"Ketika mengarah ke satu nama, ternyata tidak gampang menghubungi beliau. Sampai tanggal 10 Juni beliau masih di luar kota. Padahal panggilan pemeriksaan harus saya penuhi tanggal 11 Juni 2015. Baru 10 Juni hampir tengah malam teman-teman berhasil bertemu beliau. Masih banyak yang harus dibicarakan dengan beliau pada hari pemanggilan itu. Beliau yang saya maksud adalah Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc," imbuh Dahlan.
Mantan menteri badan usaha milik negara (BUMN) Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Dahlan diduga terlibat korupsi gardu induk Unit Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa Bali dan Nusa Tenggara PT PLN Persero tahun anggaran 2011-2013 senilai Rp 1,063 triliun. Berikut penjelasan Dahlan:
PAKAI DAN TIDAK
Berhari-hari sejak ditetapkan sebagai tersangka 5 Juni lalu saya, keluarga dan teman-teman berdebat soal pengacara.
Mau pakai pengacara atau tidak.
Saya pribadi berkeras untuk tidak perlu pengacara. Tapi keluarga dan teman-teman berkeras harus pakai pengacara.
Saya sendiri optimis bahwa kebenaran akan muncul dengan sendirinya. Tidak usah dibela-bela. Bahkan saya berencana akan bersikap sangat low profil. Saat diperiksa jaksa nanti saya akan langsung saja mengatakan terserah jaksa. Kalau memang jaksa merasa menemukan bukti yang kuat, silakan.
Di pengadilan pun, saya berencana tidak akan melakukan eksepsi atau pledoi. Silakan saja jaksa menunjukkan barang bukti. Silakan hakim mendengarkan saksi-saksi. Berdasarkan barang bukti dan kesaksian itu silakan hakim menilai. Lalu memutuskan. Kalau hakim memang menilai saya salah dan harus masuk penjara akan saya jalani dengan ikhlas.
Saya sudah mengalami penderitaan menjadi anak yang amat miskin. Saya juga sudah pernah berada dalam situasi yang begitu dekat dengan kematian. Hidup ini harus diterima apa adanya. Harus “nrimo ing pandhum”.
Keluarga saya sudah bisa menerima prinsip itu.
Tapi teman-teman terus berargumentasi. Senjata terakhir yang mereka gunakan adalah “kebenaran yang tidak diperjuangkan akan kalah dengan kebatilan yang diperjuangkan”. Lalu dikutiplah ayat-ayatnya dan ajaran-ajaran yang terkait dengan itu.
Saya menyerah.
Saya juga harus memegang filsafat hidup saya ini: “Rendah hati itu bisa menjadi kesombongan kalau niatnya sengaja merendah-rendahkan”. “Tidak mau mendengarkan saran-saran banyak orang adalah kesombongan dalam bentuk yang lebih parah”.
Saya tidak berniat seperti itu. Saya pun setuju menunjuk pengacara.
Tapi, siapa?
Begitu banyak pengacara yang bersedia membantu. Tinggal pilih: yang dar-der-dor, yang taktis, yang lemah-gemulai atau yang bagaimana?
Saya serahkan sepenuhnya pada teman-teman.
Ketika mengarah ke satu nama, ternyata tidak gampang menghubungi beliau. Sampai tanggal 10 Juni beliau masih di luar kota. Padahal panggilan pemeriksaan harus saya penuhi tanggal 11 Juni 2015.
Baru 10 Juni hampir tengah malam teman-teman berhasil bertemu beliau.
Masih banyak yang harus dibicarakan dengan beliau pada hari pemanggilan itu.
Beliau yang saya maksud adalah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.