Jumat 12 Jun 2015 16:35 WIB

Jihad Muhammadiyah Abad Kedua

Rep: M Subarkah/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, Tanpa terasa dinyana, Persyarikatan Muhammadiyah sudah memasuki masa abad yang kedua. Selama ini, telah banyak kemajuan yang dicapai. Lalu, apa yang harus dilakukan Muhammadiyah ke depan?

“Kami tidak akan berhenti selama masih ada hukum yang bertentangan dengan UUD. Ini adalah jihad konstitusi kami,” ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Akhir April lalu, ketika menyampaikan akan melakukan gugatan uji materi ke Mahkamah konsitusi terkait tiga jenis perundang-undangan.

Din menyatakan tiga jenis undang-undang adalah UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Mendengar pernyataan itu, sontak media massa ramai memperbincangkannya. Berbagai komentar bermunculan. Di situ tercium beragam nada, ada yang sekeptis, ada yang bersemangat, dan ada yang terkesan tak menyukainya. Kalangan yang 'apatis' menyebutnya kurang kerjaan. Kalangan nasionalis menyebutnya memang harus dilakukan.

Sedangkan pihak 'asing' yang selama ini berkepentingan dengan kekayaan alam Indonesia secara tersamar menyayangkan langkah itu karena memukul investasi di sektor minyak dan gas. Di lingkungan pejabat pemerintah pun ada yang berkerabatan dengan alasan tengah membutuhkan banyak dolar AS (modal asing) untuk merealisasikan target pembangunan infrastruktur sesuai dengan janji kampanyenya.

Dan, publik pun terus 'panas dingin' serta penolakan semakin semakin nyata, setelah kemudian mendengar pernyataan Muhammadiyah telah mendaftar 115 perundang-undangan yang diyakini melanggar Pasal 33 UUD 1945. Seorang pakar dari sebuah universitas ternama menyatakan gugatan tersebut membuat beberapa pemerintah di berbagai negara yang melakukan eksplorasi kekayaan alam di Indonesia gelisah. Mereka kemudian menyebut Muhammadiyah sukar diatur dan memasukkannya dalam ormas Islam yang beraliran 'keras'.

Kegelisahan para pihak yang skepstis atau menolak gugatan itu memang masuk akal. Ini karena beberapa bulan sebelumnya, uji materi yang diajukan Muhammadiyah ke Mahkamah Konstitusi terkait penggunaan air dikabulkan. Akibatnya, izin pengelolaan air bagi swasta pun tidak berlaku. Konsultan manajemen risiko AS-Indonesia pun mengakui kini ada perubahan mendasar dalam undang-undang yang mengatur perdagangan di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement