REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Problem pendidikan dasar di Indonesia hingga tahun ini masih berkutat pada pemerataan dan kualitas pendidikan. Terkait pemerataan ini ada 32 kabupaten di Indonesia yang angka partisipasi kasar (APK) pendidikan dasar masih di bawah 90 persen.
Bahkan dari 32 kabupaten ini 10 diantaranya APKnya di bawah 75 persen.
"Maknanya masih banyak anak-anak usia SD yang belum menempuh pendidikan dasar. Dan angka ini masih ditambah adanya 300 ribu anak SD yang //drop out// setiap tahunnya," kata Direktur Pembinaan SD Kemendikbud, Ibrahim Bafadal pada Workshop International Membangun "Dynamic and Positive Learning Environment" di Sekoah sebagai Wujud Implementasi Gerakan Sekolah yang Menyenangkan di Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Selasa (9/6).
Workshop ini digelar FKIP UAD dengan perhimpunan Indonesia belajar dan Clayton North Primary School Australia. FKIP UAD akan membina beberapa SD milik Muhammadiyah di DI Yogyakarta agar menerapkan prinsip sekolah menyenangkan pasca acara tersebut. Bahkan untuk itu FKIP UAD menandatangani kerja sama dengan kedua lembaga tersebut.
Menurut Ibrahim, jumlah siswa SD di Indonesia sekitar 27 juta orang. Namun ketika masuk kelas enam jumlah itu selalu berkurang 300 ribu siswa karena berbagai sebab. Di SMP problem tersebut semakin besar begitu pula di SMA.
"Anak yang DO ini kita tarik melalui program retrievel. Wajib belajar 6 tahun ini harusnya sudah tuntas hingga 1984 lalu namun sampai sekarang masih menjadi masalah," katanya.
Karena itulah ia sedang berkonsentrasi mewujudkan APK SD hingga 100 persen dengan angka DO nol siswa.
Selain pemerataan, kualitas atau mutu pendidikan dasar di Indonesia juga masih menjadi masalah. Dari 148 ribu SD di Indonesia, hanya 20 ribu sekolah saja yang memiliki akreditasi A.
Akreditasi B sebanyak 77 ribu SD, akreditasi C sebanyak 29 ribu SD dan ada yang belum lulus akreditasi. "Ini masalah kita yang harus kita selesaikan," katanya.