REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penulis Tokoh Pergerakan, Bandung Mawardi ikut mengomentari polemik Presiden Joko Widodo yang salah menyebut tempat kelahiran Bung Karno. Menurut dia, ada dua faktor yang menyebabkan ketidakjelasan akurasi tempat kelahiran presiden pertama, yaitu sistem administrasi kependudukan dan minimnya informasi silsilah keluarga.
“Seperti diketahui, orangtua Bung Karno berpindah-pindah tempat tinggal. Beliau sendiri lahir di awal abad ke-20 dimana sistem pencatatan kependudukan di Hindia Belanda waktu itu belum sebaik saat ini,” ujar Bandung saat dihubungi ROL, Kamis (4/6).
Menurutnya, kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi saat presiden kedua, Soeharto lahir. Ketika itu, kondisi administrasi kependudukan telah mengalami kemajuan.
“Nama Sukarno besar karena perjalanan karier serta karya semasa dewasa. Publik cenderung tidak mempermasalahkan masa lalu beliau. Sementara, nama besar Soeharto pada mulanya dibentuk sedemikian rupa sebelum beliau benar-benar memberikan kontribusi besar bagi Indonesia,” kata Bandung.
Berdasarkan penelusuran, juga diketahui tidak banyak informasi yang diterima Bung Karno terkait silsilah keluarganya. “Sejak kecil, Bung Karno tidak banyak menerima informasi tentang keluarganya. Kemungkinan karena hal itu tidak banyak informasi akurat yang bisa diteruskan,” imbuhnya.
Dalam catatan resmi, Sukarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya. Sang proklamator wafat pada 21 Juni 1970 pada usia 69 tahun.
Seperti diketahui, polemik tempat lahir Sukarno mengemuka setelah Presiden Jokowi menyebut Sukarno lahir di Blitar. "Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Proklamator kita, Bapak Bangsa kita, Bung Karno, hati saya selalu bergetar," ujar Jokowi pada Senin, lalu. Sang presiden akhirnya menjadi objek cibiran di dunia maya.