Senin 01 Jun 2015 08:32 WIB

KPK Diminta Tuntaskan Kasus BLBI

Koordinator Pusat Advokasi dan Studi (PAS) Indonesia Taufik Riyadi beraudiensi pada diskusi publik bertajuk
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Koordinator Pusat Advokasi dan Studi (PAS) Indonesia Taufik Riyadi beraudiensi pada diskusi publik bertajuk "Kerusakan Sistemik akibat kejahatan BLBI" di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (23/4). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta memiliki political will yang kuat dalam menuntaskan kasus BLBI. Pemerintah harus menggerakkan penegak hukum, termasuk KPK untuk menuntaskan praktik kejahatan ekonomi BLBI. 

"KPK harus segera tuntaskan temuan awal sampai penetapan tersangka dan membawa ke meja hijau," ujar Tim Pakar Koalisi Anti Utang (KAU) Kustiardi Sutan Majo Endah, di Jakarta. 

Dengan cara seperti itu maka KPK dapat dinilai berkontribusi nyata menyelamatkan pemerintahan dan rakyat dari praktik kejahatan ekonomi. 

Ia mengatakan, para pelaku kejahatan ekonomi yang sudah merugikan negara saat ini masih leluasan menjalankan bisnisnya. Termasuk dalam industri perbankan dan keuangan. Karena itu ia menilai tidak mungkin jika potensi kerugian negara bisa saja terulang kembali. 

''Tabiat buruk mereka yang berujung lahirnya BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan saat ibi berpotensi terulang kembali. Tidak hanya pemerintah yang terganggu tetapi rakyat banyak yang juga akan kembali menjadi korban,'' katanya.

Koordinator Pusat Advokasi dan Studi Indonesia (PAS Indonesia) Taufik Riyadi menambahkan, kejahatan BLBI amat merugikan keuangan negara. Kucuran BLBI yang diikuti dengan terbitnya obligasi rekapitalisasi perbankan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menanggung pembayaran bunga setiap tahun sampai 2030 yang akan datang. 

Pemerintah harus mengeluarkan sekitar Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun per tahun untuk membayar bunga rekapitulasi perbankan. Beban itu muncul dari terbitnya obligasi rekapitalisasi perbankan yang totalnya Rp 422,6 triliun. Dari jumlah itu, obligasi rekap untuk empat bank BUMN sebesar Rp 279,4 triliun, untuk bank swasta Rp 141,96 triliun, dan untuk 12 Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebesar Rp 1,23 triliun. 

Melihat besarnya penerimaan bunga bagi bank pemegang obligasi rekap, lanjut Taufik, maka wajar jika ada upaya menolak dihentikan pembayaran bunga obligasi rekap oleh pemerintah. 

''Apabila pemerintah menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap maka akan langsung berpengaruh pada keuntungan dan mempengaruhi neraca perbankan,'' kata Taufik dalam pernyataan tertulis. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement