Sabtu 23 May 2015 07:59 WIB

'Beredarnya Beras Sintesis Cermin Pemerintah Telah Lalai'

Rep: C94/ Red: Bayu Hermawan
Beras Plastik
Foto: Antara/Risky Andrianto
Beras Plastik

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kabar ditemukannya beras sintesis yang mengandung plastik di beberapa daerah, telah membuat publik resah. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai beredarnya beras sintesis ini karena pemerintah telah lalai dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat dalam hal produk-produk pangan.

Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Iffah Ainur Rohmah mengatakan setidaknya ada tiga hal yang patut mendapat sorotan dari kasus beredarnya beras sintesis. Pertama, kata Iffah, beredarnya bahan pangan palsu muncul lantaran masyarakat tergiur harga yang rendah dari produk yang dibutuhkan sehari-hari.

"Kemiskinan dan daya beli rendah masyarakat akibat semakin kentalnya watak neoliberal pada pemerintah saat ini. Kodisi itu menjadi penyebab utama mengapa masyarakat lebih mencari produk yang murah tanpa terlalu memperhatikan kualitas," jelasnya.

Iffah menilai, faktor tersebut dimanfaatkan oleh pebisnis nakal untuk menjual bahan pangan berbahaya seperti beras oplosan dengan beras plastik dijual dengan harga lebih murah dari produk  dengan tampilan sejenisnya. 

"Seandainya daya beli masyarakat cukup memadai maka mereka akan lebih selektif memilih dan tak mudah tergiur barang yang murah bahkan akan mewaspadai bila ada barang yang dijual terlalu murah," katanya.

Ia melanjutkan, hal kedua adalah pemerintah yang diharapkan oleh publik untuk  bisa memberi perlindungan dari berulangnya kasus serupa, ternyata tidak mampu. Kelalaian pemerintah untuk rutin dan konsisten melakukan pengawasan pasar khususnya terhadap produk-produk pangan memberi celah terjadinya penyimpangan tersebut.

"Sangat disayangkan pemerintah baru melakukan uji lab setelah muncul aduan dan temuan beras palsu. Kenapa tidak dilakukan secara periodik misal 3 bulanan, tidak hanya ketika ada kasus atau pada momen-momen yang rawan seperti menjelang ramadhan dan semisalnya," ujarnya.

Ia menegaskan, kendala dana untuk operasional pengawasan tersebut tidak dapat menjadi alasan. Sebab, bila pemerintah sungguh-sungguh ingin memberikan jaminan keamanan pangan (food safety) bagi publik maka jangan menunggu jatuhnya korban.

"Kondisi ini harus segera dibuat kebijakan berikut alokasi anggaran untuk pengawasan dalam menjamin keamanan pangan publik," ucapnya.

Selain itu, pemerintah juga tidak layak berdalih bahwa produk ini masuk ke Indonesia secara ilegal. Karena itu, sepantasnya pemerintah juga mampu menanggulangi kejadian-kejadian semacam ini.

"Bila itu tidak segera dilakukan pemerintah, maka hal itu menegaskan pemerintah saat ini adalah rezim neolib yang berlepas dari fungsi negara sebagai penanggung jawab dan pengayom,"katanya.

Iffah menyampaikan, sorota ketiga yaknk tata niaga global yang kapitalistik telah terbukti menghasilkan kerusakan karena berbasis liberalisme ekonomi. Kondisi demikian terbukti mendorong setiap pelaku usaha maupun individu dan  korporat untuk mencapai keuntungan tertinggi dengan cara apapun tanpa peduli akan membahayakan publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement