REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan revisi terbatas UU Pilkada rencananya akan dimulai pekan depan di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Menurut peneliti dari ICJR, Anggara, penyelesaian pembahasan revisi terbatas ini sangat tergantung pada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia menjelaskan, sebab dalam konstitusi negara Indonesia, pembahasan UU harus dilakukan oleh DPR dan Presiden. "Lama atau tidaknya pembahasan tergantung respon dari Presiden Jokowi," katanya pada Republika, Jumat (22/5).
Menurutnya, jika Presiden tidak bersedia, pembahasan revisi ini akan berlangsung lama. Terlebih, revisi ini belum menjadi RUU inisiatif DPR. Harus melewati pembahasan di Baleg dan meminta persetujuan sidang paripurna. Kalaupun berhasil menjadi RUU Inisiatif DPR, masih ada persoalan di pembahasan dengan Presiden.
Memang selama ini Presiden Jokowi belum memberikan jawaban pasti soal revisi UU Pilkada. Namun, pernyataan dari dua menteri pembantu Jokowi sudah menyatakan tegas menolak revisi UU Pilkada ini.
Padahal, dalam konstitusi negara kita, pembahasan UU harus dilakukan antara DPR dengan Presiden. Jadi, DPR tidak bisa melakukan pembahasan UU sendiri. Selama ini, kata Anggara, belum pernah terjadi preseden pembahasan UU dilakukan DPR tanpa melibatkan unsur pemerintah atau presiden.
"Kalau DPR membahas sendiri itu berarti tidak sesuai dengan konstitusi yang berlaku," ujarnya.
Anggara menambahkan, kalau memang Presiden tidak ingin membahas revisi UU Pilkada ini, dipastikan tensi politik akan kembali memanas. Selain berdampak pada revisi UU, juga akan berdampak pada agenda-agenda pemerintah. Selain itu, akan berdampak pada pembahasan prolegnas.
"Prolegnas sudah disepakati, maka DPR dan Presiden harus membahas ini," tegasnya.