REPUBLIKA.CO.ID,Pengamat Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Bustanul Arifin menyesalkan masuknya beras sintetis di Indonesia. Di berpemdapat, bukan hanya soal kekuatan keamanan pangan nasional yang ternodai, tapi juga isu tersebut mengganggu agenda diversifikasi pangan yang masih dirintis.
"Kami khawatir persepsi masyarakat akan terganggu dengan kabar ini, di mana nantinya timbul keengganan membeli beras analog karena stigma yang terbentuk, beras analog berbahaya," kata dia pada Jumat (22/5). Disebutkannya, kasus pangan berbahaya bukan hal baru. Tahun 2012 muncul kasus serupa namun tidak ada penyelesaian kongkrit oleh pemerintah sehingga kasus berulang hari ini.
Ia secara pribadi mengutuk jika benar ada beras plastik yang beredar di pasaran. Terkait beras analog yang di awal ia singgung, ia merupakan beras tiruan dari bahan-bahan alami lainnya seperti sagu, singkong atau ubi. Penelitian sudah dilakukan dan beras analog pun sudah jelas penampakannya. Namun pemasarannya yang masih merintis akan terganggu karena isu beras plastik.
Diterangkannya, beras analog cenderung berwarna lebih gelap namun bentuknya serupa dengan beras biasa. Dengan teknologi tertentu yang berdampak pada kebaikan kesehatan, ia bisa menjadi alternatif pengganti beras asli yang tujuannya untuk mengatur keseimbangan gizi dan mencegah kolesterol. "Hanya saja, rasanya masih tidak seenak beras asli, dan setelah ditanak pun, seperti pera," lanjut Bustanul.
Diversifikasi pangan, kata dia, urgen dimulai, sebab selain merupakan program pemerintah, ia juga berperan sebagai penyeimbang gizi masyarakat. Bahkan, amanat diversifikasi telah tertuang dalam Perpres 22 tahun 2009 di mana pemerintah berencana mengurangi konsumsi beras hingga 1,5 persen digantikan dengan produk divesifikasi.
Namun, akibat pelaksanaannya belum maksimal, produk beras analog belum populer serta pasokan bahan baku beras analog belum maksimal, maka evaluasi kinerjanya pun belum maksimal. Di mana penurunan konsumsi beras hanya 0,8 persen saja.
Karena itu, ia meminta pemerintah dan lembaga berwenang untuk serius menjaga pangan agar peredarannya tak membahayakan konsumen. Harus pula ada langkah pasti dalam menjelaskan kesimpangsiuran kabar soal beras plastik yang beredar.