Jumat 15 May 2015 21:58 WIB

Legislator Minta Tinjau Rencana Penambahan Pesawat Baru

Red: M Akbar
Pesawat CN-235 220 Maritime Patrol Aircraft (MPA) TNI AL
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Pesawat CN-235 220 Maritime Patrol Aircraft (MPA) TNI AL

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Anggota Komisi V DPR RI Abdul Hakim meminta dilakukan peninjauan kembali rencana Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan untuk menambah 51 pesawat latih baru pada tahun anggaran 2015 ini.

"Apakah pengadaan pesawat latih baru tersebut memang sudah melalui studi cermat. Apakah memang harus dengan pengadaan baru alih-alih perbaikan pesawat yang sudah ada, terutama jika ini untuk menjawab problem penumpukan siswa penerbang yang kabarnya mencapai 422 orang itu," ujar anggota DPR asal Lampung yang juga Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR di Bandarlampung, Jumat (15/5).

Ia menyebutkan, sebelumnya Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Perhubungan menyikapi kebutuhan 400--600 penerbang di Indonesia dengan program pengadaan sarana dan prasarana pendidikan penerbang yang keseluruhannya memerlukan anggaran cukup besar.

Anggarannya, menurut dia, cukup fantastis antara lain untuk pengadaan 25 pesawat latih mesin tunggal high wing, 11 pesawat latih mesin ganda, dan 15 pesawat latih helikopter.

Selain mengajukan pesawat latih baru, BPSDM Perhubungan juga mengajukan pengadaan dua full flight simulator di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, pengembangan fasilitas pendidikan di Loka Pelatihan dan Pendidikan Penerbang (LP3) Banyuwangi, dan subsidi rekrutmen 120 siswa penerbang. Pesawat latih tersebut, di antaranya jenis Piper Warrior III, Cessna 172, dan Helli Bell 206.

Hal itu, menurut pihak BPSDM Perhubungan Deddy Dharmawan, untuk menjawab kebutuhan penerbang Indonesia yang masih jauh dari jumlah ideal 600 penerbang, bersamaan dengan fakta adanya penumpukan 422 siswa penerbang STPI Curug dan 60 siswa LP3 Banyuwangi.

Menurut Hakim, peninjauan alokasi anggaran antara lain karena dirinya juga menerima laporan adanya inefisiensi anggaran dalam pengelolaan pendidikan penerbang ini.

"Subsidi pemerintah untuk pendidikan penerbang seharusnya dapat menghasilkan 120 penerbang tiap tahun, namun kenyataannya hanya bisa menghasilkan 60 penerbang tiap tahun. Perlu dikaji apakah problemnya ketiadaan sarana seperti pesawat latih atau pada sistem pendidikan penerbangnya?" ujar anggota DPR empat periode ini pula.

Komisi V DPR menerima sejumlah masukan terkait pengelolaan pendidikan penerbang di Tanah Air, antara lain dari Vice President Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW) Juwono Kolbioen yang menegaskan bahwa biaya subsidi pemerintah seharusnya cukup untuk melaksanakan proses pendidikan penerbang, meliputi biaya terbang, bahan bakar, perawatan, suku cadang, board and lodging, dan lain-lain.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement