REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul mengatakan meski kasus prostitusi dimasukan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun penegakan hukum nantinya kemungkinan akan sulit diterapkan. Sebab, definisi istilah prostitusi yang masih terlalu umum bakal mempersulit penindakan hukum.
"Pada dasarnya sudah ada niatan untuk memperbaiki hukum ke bentuk yang lebih baik. Namun dalam hukum tidak dikenal istilah prostitusi, melainkan perbuatan cabul atau perzinahan," jelasnya kepada ROL, Selasa (12/5).
Chudry melanjutkan, perbedaan istilah itu diperkirakan dapat menyulitkan pembuktian jika terjadi kasus prostitusi. Sebab, belum ada kesamaan pengertian antara makna prostitusi dengan perzinahan yang dilakukan oleh pria dan wanita tanpa atau dengan ikatan perkawinan.
"Jadi masih ada pertanyaan, seperti apa prostitusi yang bisa dikenai pasal perzinahan itu. Perbedaan definisi dikhawatirkan menimbulkan penyangkalan dari pelaku," katanya.
Meski begitu, pelaku tetap tidak bisa menyangkal jika tertangkap tangan dengan sejumlah bukti, seperti SMS, BBM, telepon atau beberapa hal lain yang mengisyaratkan terjadinya transaksi prostitusi.
Diberitakan sebelumnya, perluasan pasal perzinahan dalam rancangan revisi KUHP mengatur cakupan perzinahan secara lebih luas. Dalam KUHP saat ini, yang disebut perzinahan hanya sebatas hubungan suami istri antara dua orang yang salah satunya sudah terikat pernikahan.
Dalam rancangan revisi KUHP hubungan suami istri antara orang-orang yang tidak atau belum terikat pernikahan turut didefinisikan sebagai perzinahan.
Seperti diketahui, kasus prostitusi kini tengah menyita perhatian masyarakat. Hal tersebut setelah petugas membekuk seorang mucikari dan artis berinisial AA yang merupakan pelaku prostitusi kelas atas. Mucikari berinisial RA itu pun memberikan keterangan mengejutkan diantaranya banyak artis yang juga melakukan praktik prostitui.