REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung, Dede Mulyanto mengatakan ada dua latar belakang yang menjadi konsekuaensi logis maraknya prostitusi online. Pertama adalah pembubaran lokalisasi yang sejak 10 tahun terakhir sering dilakukan.
“Di Bandung, kemudian di Surabaya baru-baru ini dan di Jakarta yang sudah cukup lama sejak zamannya Pak Sutiyoso,” kata dia kepada Republika, Selasa (12/05).
Dede memaparkan, dengan tidak adanya lokalisasi, baik mucikari ataupun PSK memutar otak dan mencari jalan keluar dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi internet serta media sosial yang tidak terbatas sensor pemerintah, membuat tidak ada batasan bisnis apa yang akan dilakukan.
“Kita kan belum punya Undang-Undang yang cukup rinci yang bisa melakukan sensor. Lagi pula, sensor di dalam masyarakat demokrasi itu merupakan sesuatu yang buruk,” tambah dia.
Sebelumnya, RA mucikari yang memasok perempuan tarif atas ditangkap oleh Polres Jaksel di sebuah hotel bintang lima. Ia ditangkap bersama seorang artis berinisial AA. Keduanya tertangkap melakukan praktik prostitusi.
Bedanya, praktik ini mematok harga yang fantastis. RA juga menyediakan perempuan dengan jaminan kelas atas, seperti artis AA bertarif Rp 80 juta-200 juta sekalishort time (3 jam). Konsumen RA pun tak hanya orang berduit di Jakarta saja tetapi hingga mancanegara.