REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menegaskan pemerintah harus mulai memprioritaskan proses peradilan bagi para pelaku prostitusi. Menurutnya, peradilan kasus prostitusi sama pentingnya dengan peradilan untuk kasus narkoba maupun terorisme.
“Selama ini pemerintah lebih memprioritaskan peradilan kasus narkoba, terorisme, dan sebagainya. Padahal, soal prostitusi tidak kalah kalah penting. Sebab, kita tahu prostitusi merupakan gerbang pembuka perilaku kriminal lain, baik narkoba, perjudian, pembunuhan, perdagangan manusia, dan sebagainya,” papar Asep saat dihubungi ROL, Senin (11/5).
Sayangnya, hingga kini prostitusi terkesan diabaikan pemerintah dengan belum adanya regulasi yang tegas dan kuat. Saat ini, tindak pidana bagi prostitusi hanya diatur dalam KUHP pasal 296 yang sifatnya umum.
“Untuk memulai prioritas peradilan bagi prostitusi, pemerintah wajib membuat poin-poin regulasi baru yang lebih tegas dan detail. Di dalamnya, mesti ada paparan tentang cakupan kegiatan prostitusi serta sanksi yang tegas, mengikat dan proporsional, “ tambah Asep.
Selain kedua tadi, dia pun mengingatkan jika regulasi mesti mengatur sanksi bagi penyedia dan pemakai jasa prostitusi. “Sebab prostitusi seperti mata rantai yang utuh, kita tidak bisa hanya menjerat perempuan penyedia jasa prostitusi. Para mucikari dan pria yang memanfaatkan jasa mereka pun perlu ditindak untuk membongkar jaringan prostitusi secara keseluruhan, “ paparnya lebih lanjut.
Asep menambahkan, sebaiknya aparat penegak hukum juga mulai memberlakukan sanksi tegas terhadap hotel, penginapan, tempat kos atau tempat hiburan yang digunakan sebagai lokasi prostitusi. Dia menyarankan, regulasi bagi lokasi-lokasi tersebut perlu segera dibuat agar pelaku bisnis tidak lagi permisif terhadap tindakan yang mengarah kepada prostitusi.
“Hotel atau penginapan tergolong sebagai pembantu kegiatan prostitusi. Jika tidak ada regulasi yang tegas, tentu peradilan prostitusi tetap berat sebelah,” pungkasnya.