REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- DPRD Kabupaten Sleman menilai pemerintah eksekutif, baik kabupaten maupun provinsi, lamban dan tidak tegas dalam menghadapi kasus penambangan liar. Hal ini disampaikan oleh anggota Komisi B, Yani Fatu Rahman.
Ia menceritakan, jalan evakuasi di Cangkringan rusak parah. Sehingga aktivitas perekonomian dan mobilitas masyarakat terganggu. "Kerusakan itu terjadi karena lalu lalang angkutan tambang yang kapasitasnya berlebihan. Misalnya di Blok Kali Adem, padahal sudah ada portal, tapu truk masih ada yang masuk," katanya, Ahad (10/5).
Kalau terjadi erupsi merapi, hal ini tentunya akan menyulitkan evakuasi korban. Ditambah lagi sekarang, truk sudah mulai masuk melintasi pekarangan warga. Lagi pula, menurutnya jalan-jalan tersebut tidak pernah diperuntukkan sebagai jalur tambang.
Sebagai warga Cangkringan, Yani pun merasa tidak pernah ada kejelasan dari pemerintah terkait hal ini. Bahkan perbaikan akses jalan dianggap lamban. "Kalau yang di Cangkringan saja tidak diperbaiki, kami khawatir kerusakannya akan menyebar ke daerah-daerah lain," paparnya.
Yani menjelaskan jalan yang rusak ada sebagian milik provinsi, ada juga yang milik kabupaten. Namun di jalan tersebut, masih saja ada pemungutan retribusi liar. Sehingga menyebabkan para pengangkut pasir beranggapan aktivitas mereka sah sah saja.
"Mereka kan bisa bilang, kami sudah bayar retribusi. Jadi dikiranya boleh," papar Yani.
Maka itu ia meminta agar pemerintah segera membahas pengaturan untuk masalah ini. Ia berharap Pemkab dan Pemprov segera bertindak cepat untuk memperbaiki jalan yang rusak. Agar masyarakat tidak lagi dirugikan.
Menurut Yuli, masalah penambangan ini sebetulnya sudah dibahas di Komisi C DPRD Sleman. Selanjutnya, yang menentukan adalah kesungguhan pemerintah untuk menindak tegas kasus pertambangan.
Sebelumnya, warga Desa Purwobinangun, Yulianto sempat mengemukakan kerusakan di jalur evakuasi erupsi merapi dari Pulowatu ke Turgo. Menurut Yuli hal ini sungguh merugikan. Sebab mobilitas warga saat terjadi bencana akan terhambat.
"Bagaimana tidak rusak, ratusan truk mengangkut pasir lebih dari 80 ton melintas setiap hari. Padahal jalan tersebut tidak pernah diperuntukkan bagi angkutan tambang. Diperbaiki pun tidak," paparnya.
Mantan Camat Kalasan itu pun mengatakan ada kerugian lain yang ditimbulkan pertambangan liar. Dulu ada tiga mata air di Glondong, Purwobinangun. Karena aktivitas penambangan, saat ini hanya tersisa satu mata air yang hidup.
Selain itu aktivitas ilegal tersebut menimbulkan kerusakan pada Dam Kalireso. Padahal sumber air tersebut memasok aliran air ke 18 dusun yang dihuni oleh lebih dari seribu warga. Sehingga masyarakat kesulitan mendapat air bersih. "Selain itu, Dam tersebut juga mengaliri sawah warga," kata Yuli.