REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-undang (UU) mesti dilakukan secara terbuka dan melibatkan aspirasi publik. Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, mengatakan masyarakat dan pihak-pihak terkait mesti dilibatkan saat akan merevisi UU. Selain sebagai sosialisasi, keterlibatan masyarakat juga penting untuk berkonsultasi.
“Ada cara pasif dan cara aktif yang bisa dilakukan DPR. Secara pasif, DPR bisa menantikan aspirasi masyarakat umum yang bereaksi terhadap wacana perubahan UU. Secara aktif, DPR membuka konsultasi yang melibatkan beberapa pihak, misalnya akademisi, organisasi masyarakat dan sebagainya,” paparnya kepada Republika.co.id.
Keterlibatan masyarakat secara luas, lanjut Asep, bisa menghindari keputusan sepihak dari DPR. Menurut dia, revisi UU yang sedang diwacanakan saat ini tidak boleh mengulangi proses pengesahan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang disahkan pada 8 Juli 2014 lalu.
“Jika memang benar-benar harus terlaksana, kami berharap jangan ada kesalahan yang berulang. Publik berhak mengetahui seperti apa revisi UU dan apa tujuannya. Jangan sampai publik menduga-duga ada yang ditutupi dari proses revisi ini,” imbuh Asep.
Hal serupa juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, ketika dihubungi secara terpisah. Menurut Margarito, keterbukaan proses revisi UU diperlukan agar masyarakat bisa selalu memantau apa yang menjadi pertimbangan DPR dalam membuat aturan baru.
“Masyarakat memang harus tahu. Sebab, revisi hukum pada dasarnya dibuat untuk mereka. Tidak boleh terjadi lagi seperti UU MD3 yang akhirnya diketahui hanya mengakomodasi kepentingan tertentu saja,” ujar dia.