REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR, Irmadi Lubis mengatakan revisi UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan UU No 2 Tahun 2011 tentang Parpol, harus didasarkan pada persoalan mendesak dan bersifat nasional.
"Revisi suatu aturan perundangan, termasuk UU Pilkada dan UU Parpol tidak bisa hanya untuk mengakomodasi kepentingan jangka pendek satu atau dua parpol saja," katanya di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (7/5).
Menurutnya, jika pemerintah tidak setuju revisi UU Pilkada dan UU Parpol maka tidak bisa dilakukan, karena revisi itu harus dibahas bersama antara DPR RI dan Pemerintah. Apalagi, UU Pilkada itu baru saja direvisi dan belum digunakan.
Politikus PDIP itu melanjutkan, wacana revisi UU Pilkada dan UU Parpol, hanya diusulkan oleh beberapa kelompok fraksi (Poksi) saja di Komisi II DPR RI untuk mengakomodasi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang menghadapi perselisihan struktur kepengurusan agar dapat mengikuti pilkada pada Desember 2015.
Ketua Poksi VI PDI Perjuangan DPR RI ini menegaskan, perselisihan yang sedang dihadapi Partai Golkar dan PDI Perjuangan adalah perselisihan internal, hendaknya diselesaikan secara internal.
Ia menilai. dalam UU Parpol sudah mengamanahkan perselisihan internal parpol dapat diselesaikan secara internal baik melalui mehkamah partai maupun melalui mekanisme islah.
"Jangan sampai persoalan internal partai dibawa ke DPR RI dan melibatkan semua partai politik di DPR RI," ujarnya.
Irmadi menegaskan, Partai Golkar dan PPP jika ingin mengikuti pilkada, maka dapat lakukan mekanisme islah, jangan memaksakan DPR RI melakukan revisi UU.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Utara I ini juga menegaskan, tidak sepakat dengan wacana yang dilontarkan Partai Golkar bahwa untuk dapat mengikuti pilkada didasarkan atas keputusan pengadilan terakhir menjelang pendaftaran bakal calon kepala daerah.
Menurutnya, hal ini tidak dapat diterima dan dapat membuat kisruh. Suatu partai politik dapat menjadi peserta pilkada atau tidak, menurut dia, harusa didasarkan pada keputusan hukum yang memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikuat atau inkrah.
"Jika didasarkan pada putusan pengadilan terakhir, maka putusan pengadilan pada tahap yangt lebih tinggi bisa saja berbeda sehingga membuat situasi makin kisruh," jelasnya.