REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Angin kencang yang berhembus di laut selatan Bali, memaksa para nelayan di Kabupaten Jembrana, menghentikan operasinya. Karena dengan kondisi angin yang kencang, para nelayan sulit mengendalikan perahu di tengah laut.
"Sudah sepuluh hari terakhir ini kami tidak melaut," kata Yahya, salah seorang nelayan di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Jembrana Bali.
Kepada Republika, Kamis (7/5) Yahya mengatakan, kalau dipaksakan melaut, sudah dipastikan hasil tangkapan juga tidak akan maksimal. Hal itu katanya, membuat mereka merugi, mengingat biaya operasional yang cukup mahal.
Untuk sekali melaut, setiap kapal setidaknya memerlukan biaya operasional Rp 6-Rp 7 juta, untuk membeli solar, uang makan ABK dan juga membeli es untuk mendinginkan agar ikan tetap segar.
Karenanya, bila hasil tangkapan tidak hanya dapat satu ton atau dua ton, tidak akan cukup menutupi biaya operasional.
"Kami menangkap ikan lemuru yang harganya hanya Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram. Jadi kalau hasil tangkapan sedikit, sudah pasti ruginya," kata Yahya.
Nelayan lainnya, Ateng Jauhari, menyebutkan dia tidak berani memastikan, kapan akan turun melaut. Karena sebutnya, cuaca bisa setiap saat berubah-ubah, kadang-kadang tenang dan terkadang angin kencang.
"Kami pernah melaut karena angin di darat tenang-tenang saja. Tapi begitu kami di tengah laut, angin sangat kencang dan kami kembali dengan tangan hampa," katanya.
Akibat sebagian nelayan menghentikan operasi, bisnis ikan lemuru di Desa Pengamengan juga melesu. Biasanya kata M Kamil, sehari-harinya dia bisa mengumpulkan lebih dari 200 ton ikan lemuru dari perahu yang beroprasi. Namun kini menurun drastis, karena perahu yang beroperasi juga sedikit.
"Di Pengambengan ada sekitar 100 unit kapal porseseine, namun yang beroperasi hanya 40 unit. Hasil tangkapannya juga sedikit-sedikit," kata Kamil yang bekerja di perusahaan pengepul ikan hasil tangkapan nelayan itu.