REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG-- Pengamat hukum pidana dari Universitas Nusa Cendana, Karolus Kopong Medan berpendapat, sangat tidak tepat mengaitkan kasus terpidana mati narkoba dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Rasanya sangat ironis ketika kita meneriakan hukuman mati terhadap pelaku narkoba sebagai bentuk palanggaran HAM, padahal pelaku itu sendiri sesungguhnya juga melakukan pelanggaran HAM berat atau serius terhadap masa depan bangsa ini," kata Kopong Medan kepada Antara di Kupang, Selasa (5/5)
Ia menjelaskan, eksekusi merupakan suatu proses untuk menjalankan putusan pegadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Itu artinya, kata dia secara yuridis siapapun atau pihak manapun tidak dapat membatalkannya dan harus menghormatinya, termasuk pihak pengadilan sendiri dan presiden selaku kepala negara.
Ketika presiden selaku kepala negara menolak permohonan grasi terpidana mati kata dia, maka sesungguhnya sudah tidak ada upaya hukum lain. "Kecuali ada novum atau bukti baru yang membuka ruang untuk peninjauan kembali," ucapnya.
Memang harus diakui bahwa hukuman mati itu dari sisi HAM dan agama tidak membenarkan siapapun, termasuk negara untuk mencabut nyawa manusia. "Tetapi, tapi dari sisi yang lain kita juga harus secara jernih menilai dampak yang sangat serius dari perbuatan yang dilakukan, yakni merusak kelangsungan hidup mansia, terutama generasi muda bangsa ini," tukasnya.
Mengenai konstruksi hukum, dia mengatakan, jika mengamati konstruksi hukuman mati yang ada dalam KUHP maupun perturan perundang-undangan lain, maka dapat menemukan bahwa para pembuat hukum di negeri ini sangat irit dalam merumuskan ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana.
Seharusnya hukuman mati juga diterapkan kepada pelaku tindak pidana pelanggaran HAM berat, narkoba, pembunuhan berencana, dan beberapa kasus khusus lainnya.