REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Radikalisme yang mengatasnamakan agama dianggap menjadi ancaman bersama, baik negara maupun masyarakat Indonesia. Untuk itu, masyarakat diharap tidak berpengaruh paham radikalisme yang timbul dengan memanfaatkan agama.
Staf Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto mengatakan, gerakan radikalisme harus terus diwaspadai karena memiliki agenda terselubung yang bisa memecah belah bangsa Indonesia. Menurutnya, agama menjadi kendaraan yang dinilai tepat untuk menjalankan aksi radikalisme karena merupakan hal yang sensitif.
"Agama yang semestinya memberikan ajaran tentang perdamaian, karena penyalahgunaan tersebut akhirnya semua dengan seenaknya diputar balik. Seperti ayat-ayat kitab suci dipotong, sehingga tafsirannya menjadi macam-macam sesuai kepentingan politik mereka. Jadi semua itu karena ulah manusianya, bukan agama," papar Wawan.
Selama ini, lanjut Wawan, akibat isu yang tidak disaring sehingga terbawa irama dan ikut 'gendang' mereka. Dampaknya dinilai sangat besar karena merembet kepada pencitraan agama. Padahal semua pihak harus memegang asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) dalam mengartikan ayat-ayat kitab suci, khususnya Alquran.
"Yang terjadi ayat untuk perang tidak bisa diterapkan di medan damai. Tapi ini dipukul rata sehingga situasi menjadi panas bahkan sampai terpolarisasi sehingga menimbulkan imej baru, pandangan baru yang cenderung minor dan mendiskreditkan. Alhasil agama dikira seperti itu, padahal tidak. Sehingga terjadi salah paham dan meluas," ungkapnya.
Untuk menangkal upaya-upaya tersebut, Wawan berpendapat, seharusnya semua pihak harus kritis dengan apa yang terjadi di masyarakat. Jangan semua ditelan mentah-mentah tanpa menyaring lebih dulu. Semua pihak juga harus memiliki wawasan dan jaringan yang luas sehingga mereka tahu apa target dari gerakan-gerakan seperti itu.
Sementara itu, dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Amirsyah Tambunan menilai, tindakan radikalisme bersumber dari manusia. Bahkan agama justru mengharamkannya, termasuk Islam.
“Apapun yang namanya kekerasan di agama Islam, sangat diharamkan. Begitu juga di halaman lain tidak akan ada yang mengajarkan kekerasan. Di Indonesia, Islam dinilai sebagai agama yang bisa menjunjung tinggi kebersamaan, kerukunan dan saling menghormati antar agama lain. Tidak ada kekerasan dalam Islam,” ujar Amirsyah.
Menurutnya, kekerasan yang menggunakan kedok agama ini bisa terjadi karena adanya berbagai macam ketimpangan.
"Selama ini hal itu terjadi karena masalah adanya kesenjangan sosial yang terjadi di negaranya dan bahkan dari umat agama itu sendiri karena pengetahuan mereka tentang agamanya juga kurang. Jadi mereka
seolah-olah dari agama itu yang mengajarkan kekerasan, padahal bukan. Hal itu tidak boleh terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya harus rukun dan saling menghormati antar sesama,” ujar Wakil Sekjen MUI Pusat ini.
“Kalau hal itu terjadi tentunya akan sangat berbahaya. Bisa terjadi perang saudara seperti yang terjadi di Palestina, Afganistan dan bahkan saat ini yang terjadi di Irak dan Suriah yang selama ini dikenal dengan ISIS. Saya berharap hal itu jangan sampai terjadi di negeri kita ini karena itu ancaman bersama,” katanya.
Sekjen DPP Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (ADPISI) itu pun meminta agar segala macam bentuk kekerasan yang menggunakan kedok agama harus diperangi. Karena dapat membawa dampak buruk dalam kehidupan masyarakat dan negara.
"Jadi kekerasan yang membawa-bawa nama agama itu harus diperangi bersama, karena di agama kita (Islam) tidak pernah diajarkan untuk melakukan kekerasan," ujarnya.