Selasa 28 Apr 2015 18:53 WIB

Benarkah Ali dan Muawiyah tak Pernah Berdamai?

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Nasih Nasrullah
 Kota Suci Makkah, Arab Saudi.
Foto: REUTERS/Muhammad Hamed/ca
Kota Suci Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, (Menanggapi Resonansi Buya Syafii Maarif)

Oleh Ahmad Islamy Jamil

Menggelitik membaca resonansi Buya Syafii Maarif, Selasa (28/4) dengan judul "Kapan Umat Islam Muak Berperang? (I) (Berkaca pada Perang Unta dan Perang Siffin)." Agak meragukan bila buya Syafii langsung yang menulis demikian, tetapi kalau pun beliau langsung, tentu kita masih berbaik sangka dan perlu bertabayun. Ada apa gerangan?

Paragraf terakhir, Buya menulis:"Tetapi, ternyata semuanya tidak cukup untuk mengekang ambisi mereka dan absennya kesediaan berdamai antara pihak-pihak yang berseteru." Upaya damai bukan tidak dilakukan sama sekali baik di awal atau akhir konflik.  

Menurut pengamat sejarah Islam asal India, Akramulla Syed, dalam artikelnya The Battle of Islam at Siffin, Muawiyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Utsman, menginginkan supaya pembunuh Utsman diadili. Namun, Muawiyah menganggap Ali tidak memiliki niat untuk melakukan hal tersebut, sehingga gubernur Suriah itu pun memberontak terhadap sang khalifah.

Menanggapi pemberontakan Muawiyah, langkah pertama yang diambil Ali adalah mencoba menyelesaikan masalah secara damai, yakni dengan mengirimkan utusannya ke Suriah. “Proses negosiasi tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga Ali pun memutuskan untuk memadamkan pemberontakan Muawiyah lewat  jalan perang,” tulis Akramulla.  

Untuk menghadapi Muawiyah, Khalifah Ali mengirim pasukan sebanyak 90 ribu tentara ke Syam yang dibagi menjadi tujuh unit. Sementara, Muawiyah yang didukung oleh 120 ribu prajurit juga membagi pasukannya menjadi tujuh kelompok. Ketika pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di wilayah Shiffin, kedua pihak langsung mengambil posisi siaga. Namun, sebelum berperang, kedua kubu terlebih dulu mengirim utusannya masing-masing untuk melakukan perundingan, dengan harapan pertempuran bisa dihindari.

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan, Abu Muslim al-Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan mengatakan, “Apakah engkau menentang Ali?”

Muawiyah lantas menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah daripada aku. Akan tetapi, seperti yang kalian ketahui Utsman terbunuh dalam keadaan terzalimi, sedangkan aku adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepada Ali, serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya.” Namun, Ali tetap tidak mau mengabulkan permintaan Muawiyah tersebut atas pertimbangan kemaslahatan.

Negosiasi pun kembali menemui jalan buntu, sehingga perang pun tak terelakkan lagi. Kontak senjata yang paling sengit antara kubu Ali dan Muawiyah berlangsung di tebing Sungai Furat selama tiga hari, yakni dari 26-28 Juli 657 (9-11 Safar 37 H). Pertempuran inilah yang di kemudian hari dikenal dengan Perang Shiffin.

Sejumlah sahabat yang memimpin pasukan di pihak Ali antara lain adalah Malik al-Ashtar, Abdullah Ibnu Abbas, Ammar bin Yasir, dan Khuzaimah bin Tsabit. Sementara, pasukan Muawiyah diperkuat oleh Amr bin Ash dan Walid bin Uqbah.

Pertempuran sengit yang berkecamuk sepanjang hari menyebabkan banyaknya korban yang berjatuhan di kedua belah pihak, terutama di kubu Muawiyah. Kendati demikian, Ali juga kehilangan beberapa sahabat terkemuka Rasulullah SAW yang ikut mendukungnya dalam perang tersebut. Di antara mereka adalah Hasyim bin Utba dan Ammar Yasir.

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain. Kendati demikian, sejarawan klasik asal Inggris, Gibbon Edward dalam bukunya The History of the Decline and Fall of the Roman Empire menuturkan, jumlah tentara yang tewas di kubu Ali diperkirakan sebanyak 25 ribu orang, sedangka di pihak Muawiyah mencapai 45 ribu orang.

Terbunuhnya Ammar bin Yasir membuat kubu Ali dan Muawiyah merasa terguncang, sehingga keduanya pun sepakat untuk berdamai. Mereka juga mengkhawatirkan wilayah perbatasan yang sedang lemah dan bisa diserang kapan saja oleh pasukan Persia dan Romawi Timur (Byzantium). Pertempuran Shiffin berakhir imbang.

Dan, pada pengujung perang, perjanjian damai antara Ali dan Muawiyah dibuat berdasarkan Alquran dan sunah. Adapun juru runding dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari, sedangkan dari kubu Muawiyah adalah Amr bin Ash.

Selang beberapa tahun setelah perundingan tersebut, kelompok yang merasa tidak puas dengan Ali merencanakan pembunuhan terhadap sang khalifah. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW itu akhirnya wafat pada 21 Ramadhan 40 H setelah diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman ibn Muljam. Jadi, upaya generalisasi Buya bahwa tak pernah ada kesepakatan damai, terlalu tergesa-gesa. wallahu a'lam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement