REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Human trafficking atau perdagangan manusia saat ini tak hanya terjadi pada kelas menengah ke bawah dengan alasan faktor ekonomi. Namun, mulai bergeser masuk ke ranah masyarakat elit.
“Perdagangan manusia sudah masuk ke ranah masyarakat elit karena saat ini ada fenomena, ketika human trafficking dalam konteks kejahatan seksual dilakukan secara off air banyak tantangannya,” jelas Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Netty Prasetyani, Senin (27/4).
Kendala yang dihadapi antara lain pemindahan, penampungan, dan penjemputan. Sekarang, hal tersebut diorganisir lebih canggih dengan menggunakan teknologi informasi.
“Kemudian, dimunculkan di beberapa akun jejaring sosial. Tentu, ini salah satu bentuk human trafficking,’’ ujar Netty.
Netty berharap, untuk mencegah trafficking dengan menggunakan teknologi ini harus dilawan dengan gerakan sadar media.
Bukan hanya sadar media dalam konteks melek media saja, tapi juga punya kepedulian bahwa media juga memiliki beberapa fungsi desktruktif dan negatif kalau tak bijak menggunakannya.
‘’Kan kalau media sosial, kita berkomunikasi tanpa melihat lawan bicara dan tak mengenal persis. Hal seperti ini harus di antisipasi,’’ katanya.
Netty mengatakan, program pada 2010 dan 2011 sebenarnya ia sudah mengkampanyakan ke sekolah-sekolah agar melek media. Namun, sekarang, digencarkan lagi agar masyarakat bukan hanya melek media, tapi bijak menggunakan media.
‘’Kami menggandeng Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar sama-sama dengan KPI menurunkan angka kekerasan termasuk tayangan. Masyarakat pun, mau melaporkan hal-hal yang mencurigakan,’’ katanya.
Menurut Netty, hingga saat ini trafficking belum memiliki pusat data. Jadi, berbagai lembaga banyak yang mengklaim dan mengeluarkan data.
‘’Kan kalau tau data, jadi penangannya jelas harus by name by addres jadi sama satu pintu. Sehingga tak ada simpang siur data. Karena kalau simpang siur data akhirnya data kita jadi banyak,’’ katanya.