Ahad 26 Apr 2015 19:25 WIB

Soal Energi, Indonesia Disebut Negara Kepepet

Rep: C85/ Red: Ilham
Tri Mumpuni, entreprenur Indonesia yang dipuji Obama
Foto: IRIANTO?REPUBLIKA
Tri Mumpuni, entreprenur Indonesia yang dipuji Obama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia disebut masih jalan di tempat. Di saat negara lain mulai menjadikan sumber energi terbarukan sebagai pondasi utama pemenuhan energinya, Indonesia masih sibuk dengan bahan bakar fosilnya. Padahal, energi fosil pasti akan habis.

Direktur Utama Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan sekaligus aktivis energi terbarukan, Tri Mumpuni menyatakan Indonesia tergolong terlambat dalam pengembangan energi baru terbarukan. Bahkan jauh dari Selandia Baru yang sudah mengembangkan energi panas buminya.

"Dulu kalau PLN lebih seneng pakai high speed diesel. Lebih cepat dan lebih gampang. Nah kemudian kita dianggap aneh. Berjalannya waktu, harganya semakin mahal. Orang baru sadar kalau ini solusi (EBT). Emang bangsa kita itu bangsa kepepet," kata Tri, Ahad (26/4).

Tri mengakui, ada faktor politik yang menyebabkan pengembangan energi baru dan terbarukan terhambat sejak didengungkan pertama kali pada periode 1990-an silam. "Karena kita sudah mengembangkan EBT dari tahun 1990. Persoalannya itu. Kenapa enggak jalan-jalan? Sampai sekarang 25 tahun. Ada kepentingan tertentu. Harus diakui," ujarnya lagu.

Untuk itu Tri berharap ketegasan dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk bisa mewujudkan nawa cita, termasuk pengembangan energi baru terbarukan. Dia berharap pemerintah bisa menggiring Indonesia keluar dari zona nikmat. Sebenarnya energi terbaru melimpah ruah dengan energi angin, hidro, matahari, bahkan geotermal.

"Perlu diakui tidak lama lagi akan ada kelangkaan energi. Karena penduduk bertambah, energi terbatas, tapi yang enggak habis itu terbarukan. Indonesia bisa menjadi Timur Tengahnya biofuel kalau kita mau serius," ujarnya.

Pada akhirnya, kata dia, bagaimana pemerintah bisa membuat politik energi yang sehat. Sehingga Indonesia bisa lepas dari keterpepetan energi. "Akhirnya kita kembali ke political energy. Apakah kita punya political energy yang betul-betul support berlakunya EBT sebagai salah satu fundamental energi?" lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement