REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengusulkan beberapa perubahan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/4).
Kepala BNPT Komjen Saud Usman Nasution menjelaskan ada beberapa hal yang belum tercakup dalam UU Terorism, di antaranya mengenai pemidanaan terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme, perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan, masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme, dan masalah rehabilitasi.
Dalam rapat kerja yang dipimpin Ketua Komisi III Azis Syamsuddin itu, BNPT juga mengusulkan perubahan masa penahanan dari tujuh hari menjadi satu bulan dan perubahan masa penahanan penyidik dari empat bulan menjadi enam bulan.
Menurut Saud, pengalaman selama ini, penyidik tidak memiliki cukup waktu yang efektif untuk berkomunikasi dengan para tersangka terorisme dan mengungkap latar belakang kasus terorisme yang dilakukan tersangka. "Terorisme sekarang ini merupakan jaringan global. Artinya, butuh waktu untuk melaksanakan sosialisasi untuk bisa berkomunikasi efektif dengan para teroris untuk mengungkap kasusnya secara lengkap," kata Saud.
Menanggapi usulan revisi UU Terorisme itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Abdul Kadir Karding menyatakan sepakat. "Pada prinsipnya, dengan semakin luas dan intensifnya gerakan radikal, ekstrem, dan terorisme, maka UU yang ada memang perlu direvisi," katanya.
Karding pun sepakat ada penambahan waktu penahanan bagi pelaku terorisme untuk memberi keleluasaan aparat keamanan dalam mengungkap kasus dan jaringan pelaku. Namun, untuk lama penahanan yang diusulkan BNPT, menurut Karding perlu didiskusikan lebih lanjut.
"Saya kira perlu (penambahan waktu penahanan) walau tidak terlalu lama, dan yang terpenting pemeriksaan harus lebih transparan," kata Sekretaris Jenderal DPP PKB itu.